LANGKAH
SANIA
Entah musim apa sebenarnya bulan April ini. Rotasi pergantian musim
semakin tidak jelas dengan bertambah rusaknya bumi. Yang jelas minggu-minggu
ini mendung selalu menggelayut di langit Yogyakarta hingga akhirnya petang
datang hujan pun selalu turun. Namun, malam ini lain. Dari lantai dua asrama
mahasiswa, bintang-bintang tampak begitu memesona. Paduan sinar bintang dengan
cahaya rembulan cukup menggambarkan lukisan alam Yang Maha Sempurna. Di bagian
barat langit tampak bersanding begitu indah bulan sabit dan sebuah bintang yang
bersinar sangat terang, Tsuroya.
Sani tampak begitu menikmati malam ini. Seolah kebahagiaannya dirasakan
pula oleh semesta. Esok hari ia akan melepaskan statusnya sebgai mahasiswa.
Rajutan mimpi-mimpi masa depan berlomba merajut dalam benak Sani. Apa yang akan
ia lakukan setelah ia wisuda merupakan pikiran terbesar yang selalu menggelayut
di pikirannya.
“Mbak Sani dicari
Ibu tu di bawah...” teguran Aini, adik kelasnya, membuyarkan rajutan mimpi masa
depan yang sedang ia rangkai. Sani segera menuruni anak tangga menuju ruang
tamu, tempat di mana keluarganya beserta keluarga calon wisudawati yang lain
berkumpul.
***
Sania, mahasiswa sebuah universitas pinggiran di Yogyakarta, telah
menamatkan program studi S1 nya dengan tepat waktu. Bersama dengan ratusan
mahasiswa lain ia akan di wisuda dan dikembalikan kepada orang tuanya.
Masa-masa yang menyenangkan, kehidupannya di kampus yang penuh dengan warna dan
idealisme kehidupan akan segera tergantikan oleh realitas sosial, kehidupan
yang lebih nyata. Bahagia jelas ia rasakan apalagi dengan predikat terbaik dan cumlaude yang diperolehnya. Namun, tugas
yang lebih menantang telah menggelayut di depan mata. Saatnya menunjukkan
pengabdian atas apa yang telah ia peroleh.
Sania telah berkumpul dengan keluarganya. Semuanya, ayah, ibu, adik-adik Sania,
sepupu, dan tantenya datang jauh-jauh
dari ujung Pulau Sumatra untuk menyaksikan prosesi wisuda. Sungguh sania merasa
terharu dengan semua ini.
“Sani deg-degan
menyambut hari besok. Rasanya belum siap menyandang gelar sarjana ..”
“Besok kamu
bukan lagi mahasiswa yang penuh dengan idealisme kehidupan, idealismemu bisa
saja runtuh setelah kamu menghadapi relitas kehidupan yang
berbeda..bersiap-siaplah menyongsong pola hidup yang baru..” semua tampak
khidmat mendengarkan perkataan ayah Sani meskipun yang dituju hanyalah Sani.
“Iya Ayah, Sani akan
mencoba melihat realitas yang ada..”
“Ayo kita
jalan-jalan ke lapangan di belakang asrama...ntar kita bisa melihat banyak
bintang di sana lho...biasanya kalau malam liburan seperti malam Minggu atau Sabtu
ada temen-temen Sani yang main gamelan di sana..” Sani menggandeng tangan kedua
adiknya dan yang lain pun mengekor ikut keluar menuju lapangan. Lapangan asrama
berjarak kira-kira dua puluh meter dari asrama. Selian sebagai tempat olah raga
di siang hari, juga sebagai tempat diskusi, kumpul anak-anak komunitas, atau
banyak juga yang sekadar nongkrong menghirup udara segar.
Wow, ternyata
tidak hanya Sani dan keluarganya yang ingin mneikmati malam di lapangan. Suasana
lapangan malam ini lebih ramai dari biasanya. Keluarga teman-teman Sani pun
sudah banyak yang lebih dulu berada di lapangan.
“Kak.
Malam-malam begini kok lapangannya ramai kayak ada pasar malam aja...” komentar
Avril, adik terbesar Sani.
“Mana pasar
malamnya kak..kok nggak ada undar-undarnya..?” timpal Nurin, si bungsu.
“Kalian itu yang
ada dipikiran cuma pasar malam teruss....” giliran ibu Sani yang menjawab
mengingat kedua anaknya tidak pernah ketinggalan kalau ada pasar malam.
“Ayo kita ke
pojok sana yang sepi...” Sania memipin pasukan. Sani memilih tempat pojok di
dekat penjual jagung bakar.
“Malam Pak...” Sapa
Sani pada penjual jagung bakar yang telah dikenalnya.
“Malam Mbak Sani...wah
kumpul keluarga iki ya....mau jagung
manis, gurih, apa sing pedes..?”
Semua membentuk
lingkaran sambil menunggu jagung bakarnya matang. Cakap-cakap hangat pun
mengalir. Tampak begitu indah seindah pasangan bulan sabit dan tsuroya yang
tetap bertahan di atas sana. Kerinduan Sani yang begitu besar pada keluarganya
meleleh saat itu juga.
“Persandingan
bulan sabit dan tsuroya tampak begitu anggun dan sempurna. Meski bukan purnama,
sinar bulan tampak mengayomi tsuroya sehingga kelihatan lebih terang. Sinar
terang tsuroya juga tidak lantas membutanya angkuh malah mengukuhkan bahwa
bulan sabit tidak kalah cantiknya dengan purnama. Semoga kita juga seperti
itu..” massage sent.
Malam semakin merangkak. Hawa dingin mulai merasuk ketulang. Setelah
menghabiskan jagung bakar satu-satu, kecuali Nurin tentunya yang minta tambah, Sania
dan keluarga segera meninggalkan lapangan yang sudah mulai sepi.
“Mbak Sania selamat
ya besok sudah jadi sarjana...” ucap penjual jagung dengan ciri khas medhoknya
ketika Sania membayar. “oh..iya nuwun
ya pak...” balas sania yang berusaha belajar bahasa Jawa dengan baik dan benar.
“Besok jam
berapa kita berangkatnya Sani..?” tanya ayah Sani memecah kesunyian dalam
perjalanan pulang. “Sekitar jam 7-an Yah, nanti sebelum itu kita sowan dulu sama Ibu Nyai..”
“Mas Rangga dateng
nggak?” lanjut Doni, sepupu Sani. “ Jelas donk...”
***
Pagi-pagi buta sebelum adzan subuh berkumandang asrama telah ramai. Tidak
seperti biasanya yang hanya beberapa mahasiswa saja yang bangun untuk qiyamullail. Jam baru menunjukkan pukul
04.00 tapi sudah banyak mahasiswa yang bangun dan mandi terutama mereka yang
akan wisuda. Sani bangun satu jam sebelumnya. Dengan khusyuk ia memanjatkan
doa, menyapa Tuhannya di malam sepi. Ia bergegas melepas mukena dan pergi mandi.
Setelah itu ia membangunkan keluarganya.
Adzan subuh berkumandang mendayu-dayu memecah dinginnya malam. Mushola
asrama telah dipenuhi jamaah mahasiswa dan keluarga. Sani merasa suasana yang
lain. Setelah hampir tiga tahun tidak berjamaah bersama keluarga kali ini ia
merasakannya. Ia bisa mencium tangan ibunya lagi seperti kebiasaannya dulu
sebelum ia di Jogja.
Perlahan tapi pasti matahari mulai memunculkan sinarnya. Sani dan lima
teman seasramanya yang akan wisuda segera antre untuk dirias umumnya orang yang
wisuda. Sementara itu keluarganya pun berkemas-kemas. Setelah satu jam akhirnya
prosesi merias diri pun selesai.
“Kepada para
wisudawati dan keluarganya yang akan sowan ke Ibu Nyai diharap segera kumpul di
aula” pengumuman dari speaker menggerakkan langkah Sani beserta yang lainnya
mengajak keluarganya untuk segera menuju ke aula. Ia akan mendengarkan wejangan-wejangan dari Ibu Nyai, ibu
pengasuh asrama tempat ia tinggal.
“Alhamdulillah kalian
semua sudah lulus masa kuliah. Tapi itu bukan berarti selesai masa belajar
karena sejatinya belajar tak akan pernah usai dan belajar dalam masyarakat itu
lebih berat dari pada belajar di dalam kelas. Salurkan ilmu kalian sehingga apa
yang kalian dapatkan di kelas tidak sia-sia..khoirunnas
anfa’u linnas..” begitu pesan Bu Nyai. Mungkin sudah biasa didengar tapi
maknanya sungguh luar biasa.
Selama
perjalanan menuju kampus sani terus terngiang-ngiang dengan pesan Bu Nyai sambil
memikirkan apa yang hendak ia lakukan setelah lulus nanti.
***
Prosesi wisuda diawali dengan kirab para wisudawan-wisudawati
mengelilingi area kampus. Dilanjutkan upacara ceremonial di gedung Serbaguna kampusnya. Ceremonial yang umum dilakuakn di mana-mana: sambutan dari para
petinggi universitas. Yang paling panjang melakukan sambutan adalah Bapak
Rektor. Hufht....prosesi ceremonial yang panjang, panas dan melelahkan.
Beberapa kali Sania mengelapkan tisu ke wajahnya meskipun di dalam ruangan
ber-AC. Wajah lelahnya tampak berseri-seri ketika dibacakan mahasiswa
berprestasi. Sania menduduki peringkat terbaik dan tercepat seuniversitas.
Gedung Serbaguna semakin panas dan ramai setelah proses ceremonial berakhir. Para mahasiswa
meluapkan kegembiraan bersama teman-temannya. Sania segera menyingkir dari
kerumunan teman-temannya. “Sani foto bareng dulu sini donk ngeloyor aja
kamu...” langkahnya terhenti. Ia menuju gerombolan anak-anak narsis. Jepret
sana-jepret sini dengan berbagai gaya.
“Udah dulu ya
capek ni narsis melulu...aku mau cari angin segar panas banget di sini..” pamit
Sani pada teman-temannya. Ia segera menuju keluar gedung menemui keluarganya.
Sayup-sayup ia mendengar lagu Bruno Mars “Just the Way You Are” lagu
kesukaannya.
“Mbak Sani.....”
dua adik kecilnya menyambut dengan teriakan histeris.
“Selamat ya Nak...”
bergantian ayah, ibu, tante, dan sepupunya mengucapkan selamat.
“Terimakasih...”
balas Sani singkat. “Ihh...Mbak Sani nangis, cengeng...” ledek Avril yang
memergoki sani mengusap air mata harunya. Kali ini Sani tidak mau melayani
ledekan Avril. Ia mencari seseorang.
“Sani...” ia menengok ke arah suara yang memanggilnya.
Rangga.
“Selamat ya udah
jadi sarjana...” dengan seikat mawar putih ia Rangga memberikan sapaan
sayangnya kepada Sani. “Sory aku telat ...oh ya kamu dapat tamu khusus lho...”
“Siapa..?” tanya
Sani penasaran. Rangga membuka pintu mobil. Tampak pak tua yang keluar dari
mobil.
“Kakek....”seru
sani sambil menyambut kakeknya.
“Ayo kita duduk
dulu biar lebih santai..”ajak Ayah Sani. Mereka segera menuju ke bawah pohon,
tempat yang sudah di bokking untuk
keluarga Sani.
“Ayah, Ibu...kenalkan
ini Kakek. Beliau udah Sani anggap kayak kakek Sani sendiri..”
“Oh iya kek Sani
sering cerita tentang Kakek kalau dia
telpon. Makasih sudah menganggap sani sebagai cucu dan memberi pelajaran hidup
bagi sani..”ucap Ibu Sani.
Kumpulan keluarga
itu makinmeriah dengan lantunan lagu-lagu Bruno Mars yang diputar Rangga.
“Mas Rangga
kapan nglamar Mbak Sani? Dia kan udah wisuda dan Mas Rangga udah mapan..”celethuk
Doni.
“Husss kamu itu,
baru aja wisuda...kerja dulu bantu orang tua dulu..”tante Rina menimpali
omongan anaknya. Yang ditanya malah cuma senyam-senyum tidak jelas apa artinya.
“Sani apa
rencana berikutnya..? tetap mau tinggal di Jogja?” tanya Kakek.
“Sani sih
pinginnya tetep di Jogja. Cari pekerjaan di jogja. Selain itu Jogja kan akses
informasi dan sebagainya serba mudah. Sani bisa tetep nulis dan paling nanti
juga ngajar...”
“Nggak mau kerja
di rumah Nak,,,?” tanya Ayah.
“apa nggak mau
jauh sama ayang Rangga?” lagi-lagi Doni meledeknya. Sani dan Rangga jadi salah
tingkah.
“Orang yang baru
luus wisuda itu diibaratkan ia sudah mempunyai bekal cahaya untuk masa depan.
Tentu saja cahaya itu akan berguna jika dibagi dan digunakan untuk menyinari.
Sani jika kamu sanggup menyinari seperti matahari tidak apa kamu tetap di Jogja
karena tidak ada sinar yang lebih terang dari matahari. Tapi kalau kamu merasa
sinarmu baru sepeti lilin janganlah kamu berada ditempat terang karena sinarmu
tidak akan terlihat dan tidak bermanfaat. Sebuah lilin akan sangat bermanfaat
jika di tempat gelap. Di luar sana masih banyak yang membutuhkan cahaya
lilinmu. Terangilah tempat yang gelap
agar menjadi terang, jangan kau terangi tempat yang sudah terang. Masalah cinta
jauh dekat sama saja jika jodoh pastilah bertemu. “ nasihat Kakek dengan penuh
wibawa.
***
Kebahagiaan wisuda telah berlalu. Keluarga Sani telah kembali ke Aceh.
Sementara Sani masih berat meninggalkan Jogja dengan kebingungannya. Keputusan
harus tetap diambil. Meskipun berat meninggalkan Jogja dengan segala kenangan
indahnya bersama teman-temannya dan terlebih lagi bersama Rangga, Sani akhirnya
pulang ke kampung halaman. Menjadi setitik cahaya di kampung halamannya yang
belum juga terang. Sebuah lilin mampu menerangi tempat yang gelap tapitidak
akan mampu lagi menambah terangnya dunia yang telah terang. Kekuatan cinta
turut menguatkannya melangkah keluar Jogja.
DATA PRIBADI
Elziya adalah nama pena dari Laeli Azizah. Anak kelahiran Kebumen, 9 Mei
1991 kini tengah menempuh pendidikan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta jurusan
Sejarah dan Kebudayaan Islam. Penulis tinggal di PP Nurul Ummah Putri, jln. R
Ronggo kG II/981 Kotagede, Yogyakarta. Bisa dihubungi di nomor 085729349982.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar