Cari Blog Ini

Jumat, 20 April 2012

Kebijakan Politik Orde lama


BAB I
PENDAHULUAN

Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 membawa periode dan babak sejarah baru bagi bangsa Indonesia. Setelah memproklamasikan diri sebagai negara yang merdeka, Indonesia berusaha membenahi stabilitas negara untuk membentuk suatu negara yang berdaulat. Dalam masa awal kemerdekaan dibentuklah BPUPKI sebagai badan yang menyiapkan kemerdekaan. Sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat dibutuhkan suatu dasar negara untuk bisa menjalankan kehidupan pemerintahan bernegara. Pembentukan dasar negara ini memerlukan suatu penggodokan yang matang mengingat Indonesia yang baru merdeka memiliki keanekaragaman budaya dan keyakinan.
Dalam pembentukan dasar negara ini melibatkan berbagai elemen masyarakat termasuk umat Islam. Pembahasan dasar negara yang terangkum melalui Piagam Jakarta banyak melibatkan peran umat Islam dalam penyusunannya. Namun, akhir dari terbentuknya dasar negara menimbulkan kekecewaan dipihak umat Islam. Kekecewaan umat Islam tidak berhenti di situ saja. Pada masa selanjutnya umat Islam juga tidak memiliki kebebasan dalam berpolitik. Soekarno sebagai penguasa RI hanya mengizinkan Masyumi sebagai satu-satunya wadah perpolitikan umat Islam. Masyumi yang beranggotakan berbagai organisasi Islam pun akhirnya tidak bisa memberikan kepuasan dan kebebasan  terhadap para anggotanya.
Banyak kalangan Islam yang menilai bahwa kebijakan Presiden Soekarno tidak banyak berpihak terhadap umat Islam. Mengingat banyaknya peran umat Islam sejak masa perjuangan sampai masa kemerdekaan hal ini menyebabkan kekecewaan di pihak umat Islam. Kebijakan lain apakah yang diterapkan Presiden Soekarno dalam masa pemerintahan Orde lamanya? Bagaimana reaksi umat Islam terhadap kebijakan pemerintah? Hal inilah yang akan dibahas dalam makalah ini.







BAB II
PEMBAHASAN
1.      Kebijakan Pemerintah Orde Lama
Pendeknya usia Piagam Jakarta dalam sejarah konstitusionalisme Indonesia tidak mengendorkan semangat politik umat Islam dalam perpolitikan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka. Gerak politik umat Islam diwadahi melalui Parati Masyumi buatan Indonesia. Partai Masyumi sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam memiliki keanggotaan dari berbagai organisasi Islam maupun perorangan. Nu dan Muhammadiyah merupakan anggota yang mendominasi Masyumi. Namun, keutuhan keanggotaan Partai Masyumi tidak bisa bertahan lama. Keluarnya PSII dari Masyumi merupakan awal dari perpecahan dalam tubuh Masyumi. Pada tahun 1952 menyusul NU sebagai penyokong besar Masyumi keluar dari partai tersebut. NU mengubah dirinya dari jami’ah (gerakan sosio-keagamaan) menjadi partai politik yang berdiri sendiri. Keluarnya NU dari tubuh Masyumi merupakan goncangan hebat bagi Masyumi mengingat pengikut NU yang cukup banyak di tiga daerah yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan.[1] Dengan tampilnya NU sebagai partai politik, maka umat Islam terbagi menjadi dalam empat partai yaitu Masyumi, PSII, NU, dan Perti.[2]
Pada awal Demokrasi Parlementer, Masyumi masih memegang peranan aktif dalam politik. Pada masa kabinet Natsir dan Kabinet Soekiman, posisi menteri Agama berada ditangan K.H. Wahid Hasyim (tokoh NU dalam Masyumi). Namun, pada masa Kabinet Wilopo-Prawoto yang dimulai sejak April 1952, posisi Menteri agama dipegang oleh K.H. Fakih Usman (unsur Muhammadiyah dalam Masyumi). Dalam masa kabinet ini NU memang tidak terwakili, sementara Masyumi menduduki empat kursi dan PSII satu kursi. Pertengahan tahun 1953 Kabinet Wilopo digantikan dengan Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Dalam kabinet ini NU telah berdiri sendiri sebagai partai politik dan mula-mula hanya menduduki tiga kursi namun setelah terjadi perubahan, NU mendapat empat kursi yang meliputi kursi wakil perdana menteri I, menteri dalam negeri, menteri agama, dan menteri agraria. Kabinet Ali I jatuh pada bulan Juli 1945 dan digantikan oleh kabinet Burhanudin Harahap (Masyumi). Kabinet ini merupakan kabinet terakhir sampai partai tersebut bubar pada tahun 1960. Salah satu prestasi dari kabinet ini adalah berhasil menyelenggarakan Pemilu pertama pada tahun 1955.[3]
Sebelum dikeluarkannya Dekrit 5 Juli, pada tanggal 22 April 1959, Soekarno sebagai Presiden pertama RI menyampaikan definisi Demokrasi Terpimpin. Salah satu definisi mengatakan bahwa Demokrasi Terpimpin ialah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Namun, dalam kesempatan lain Soekarno menyampaikan bahwa Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan, tanpa anarkinya liberalisme dan tanpa otokrasi yang diktator. Yang dimaksud dengan demokrasi kekeluargaan adalah demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahannya kepada musyawarah dan mufakat dalam satu kekuasaan sentral ditangan ‘sesepuh’ yang tidak diktator dan mengayomi masyarakat.
Periode Demokrasi Parlementer berakhir setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit 5 Juli mengukuhkan kembali UUD 1945 dan pembubaran Majelis Konstituante serta sebagai tanda dimulainya fase baru yang disebut Demokrasi Terpimpin.[4] Soekarno memilih Demokrasi Terpimpin sebagai bentuk demokrasi Indonesia karena menurutnya Demokrasi Parlementer tidak bisa mewujudkan cita-cita demokrasi bangsa Indonesia. Kekecewaan Soekarno pada keadaan yang sebenarnya juga berpangkal dari tidak terwujudnya kabinet gotong royong yang diinginkannya di mana PKI turut serta di dalamnya. Soekarno membentuk Dewan Nasional pada tanggal 11 Juli 1959 yang diketuai oleh Soekarno sendiri. Lalu pada tanggal 22 Juli 1959 Dewan Nasional diganti dengan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang juga diketuai oleh Soekarno. Penanganan sehari-hari DPAS diserahkan oleh wakilnya, Roeslan Abdoelgani, tokoh PNI. DPAS ini pulalah yang mengusulkan agar pidato kenegaraan presiden tanggal 17 Agustus 1959 dijadikan sebagai Manifesto Politik
. Dalam pidatonya taggal 17 Agustus 1959 Soekarno menyampaikan dasar-dasar Demokrasi Terpimpin. Dasar-dasar tersebut yaitu:
1)      tiap-tiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, bangsa, dan negara.
2)      tiap-tipa orang berhak mendapat penghidupan layak dalam masyarakat, bangsa, dan negara.
Demokrasi Terpimipin pemusatan kekuasaan ditangan seorang pemimpin dalam hal ini Soekarno, membawa konsekuensi politik bagi umat Islam. Sayap pesantren, yaitu NU bersama PSII dan Perti diizinkan hidup di bawah payung Demokrasi terpimpin. Mereka berusaha menyesuiakan diri dengan kondisi politik yang baru dan berusaha bertindak selalu menyenangkan Soekarno. Di sisi lain, kaum modernis bagi Soekarno merupakan penghalang revolusi. Kaum modernis terutama Masyumi dianggap sebagai musuh revolusi. Adanya perbedaan antara musuh dan kawan revolusi menyebabkan kristalisasi dalam tubuh umat Islam. Pada tanggal 20 Maret 1960 Soekarno membubarkan parlemen dan menggantinya dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). Anggota DPRGR yang dipilih merupakan mereka yang mengiakan Soekarno. Tokoh-tokoh Masyumi dan PSI tidak dimasukan dalam anggota DPRGR dengan alasan bahwa kedua partai tersebut terlibat dalam pemberontakan. Jika diteliti lebih cermat, keanggotaan DPRGR terdiri dari 94 pihak Nasionalis-Sekuler, kelompok Komunis mendapat 81 kursi, dan wakil Islam hanya mendapat 67 kursi. Di sini umat Islam kehilangan kursi sebanyak 48 jika dibandingkan dengan parlemen sebelumnya. Namun, yang lebih menderita kerugian adalah modernis yang telah dicap sebagai musuh revolusi.[5] Soekarno juga menyampaikan ideologi Demokrasi Terpimpin yang beberapa bulan kemudian disebut Manifesto Politik (Manipol). Ia menyerukan semangat revolusi, keadilan sosial, dan revitalisasi lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi negara demi revolusi yang berkesinambungan. Pada awal tahun 1960 ideologi yang samar-samar ini menjadi semakin rumit dengan ditambahkannya kata USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Soekarno mengharuskan pers mendukung Manipol-USDEK yang dicetuskannya. Namun, beberapa redaktur yang pro-Masyumi dan pro-PSI menolak sikap mendukung terhadap Manipol-USDEK. Sebagai akibatnya, terjadi pembredelan surat kabar.[6]
Kebijakan-kebijakan politik Soekarno kini lebih menekankan pada adanya persatuan antara Nasionalisme, Islam, dan Marxisme. Dengan berkurangnya peran umat Islam dalam panggung politik Demokrasi Terpimpin menunjukan bahwa Soekarno menginginkan suatu koalisi politik antara kaum Nasionalis, Agama, dan Komunis. Tema yang diangkat oleh Soekano adalah Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Perwujudan dari politik Nasakom ini adalah tampilnya PNI sebagai wakil Nasionalis, NU sebagai wakil Agama, dan PKI sebagai wakil Komunis dalam koalisi kabinet baru bentukan Soekarno.[7]
2.      Reaksi Umat Islam terhadap Pemerintah Orde Baru
Bentuk Demokrasi Terpimpin yang dipilih oleh Soekarno setidaknya telah  mempersempit gerak umat Islam dalam panggung politik Indonesia. Ketidakpuasan Soekarno yang hanya sebagai presiden simbol sebagaimana ditetapkan dalam UUDS 1950 sebagai landasan konstitusional pelaksanaan Demokrasi Parlementer, menyebabkan Soekarno menetapkan Demokrasi Terpimpin. Keinginan Soekarno untuk berkuasa secara langsung disampaikan pertama kali pada tanggal 28 Oktober 1956 pada waktu ia mengemukakan konsepsi Bung Karno. Perpindahan politik ini dianggap oleh sebagian orang telah menyimpang dari UUDS 1950. Di antara reaksi terhadap move politik Soekarno dilontarkan oleh Isa Anshory, anggota DPR. Menurutnya, konsepsi Bung karno memungkinkan terbentuknya demokrasi yang tanpa oposisi.[8]
Umat Islam sendiri memiliki pandangan yang berbeda terhadap demokrasi terpimpin. Pada garis besarnya, umat Islam terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan yang kontra dan golongan yang ikut tergabung dalam Demokrasi Terpimpin. Masyumi sebagai golongan yang menentang model politik Soekarno memandang bahwa Demokrasi Terpimpin merupakan sistem demokrasi yang otoriter, yang menyimpang dari ajaran Islam. Oleh sebab itu, Masyumi tidak mau terlibat dalam politik Soekarno. Kelompok kedua yaitu kelompok Liga Muslim (NU, PSII, dan Perti) yang turut serta dalam Demokrasi Terpimpin. Keterlibatan mereka dalam politik Demokrasi Terpimpin merupakan sebuah sikap yang realistik dan pragmatik. Saifudin Zuhri (NU), misalnya, membawakan dalil “Apa yang tidak bisa diraih secara utuh maka sebagian yang lain jangan dilepaskan” untuk membenarkan keterlibatan NU dalam Demokrasi Terpimpin.[9] Berdasarkan dalil yang diajarkan di pesantren inilah NU turut masuk dalam Demokrasi Terpimpin.
Berbeda dengan Masyumi yang memandang Demokrasi Terpimpin akan membawa bencana bagi bangsa dan negara. Sikap penolakan Masyumi dan PSI terhadap Demokrasi Terpimpin menyebabkan kedua partai politik Islam tersebut melancarkan perlawanan terhadap pemerintah. Pada bulan Maret 1960, Masyumi dan PSI menolak anggaran belanja pemerintah yang diajukan pada rapat DPR yang terpilih tahun 1955 (lembaga terakhir di mana mereka terwakili). Maka atas dorongan Hatta dan beberapa tokoh militer, PSI, Masyumi dan beberapa sekutunya membentuk Liga Demokrasi sebagai tandingan Demokrasi Terpimpin.[10] Liga Demokrasi dibentuk pada tanggal 24 Maret 1960 yang beranggotakan tokoh-tokoh Masyumi, PSI, Partai Katolik, Parkindo, IPKI, dan juga dua tokoh NU. Di depan memang telah disebutkan secara umum NU mendukung dan ikut terlibat dalam Demokrasi terpimpin. Namun, K.H. M. Dahlan dan Imron Rosjadi menentang Demokrasi Terpimpin. Mereka memang tidak bisa membawa penentangan tersebut ke dalam garis politik.
Liga Demokrasi mula-mula dibentuk sebagai bentuk protes terhadap pembubaran DPR pilihan rakyat. Namun, tujuan jangka panjangnya memang untuk melawan sistem otoriter Soekarno. Pada saat Liga didirikan, Soekarno sedang berada di luar negeri. Setelah ia kembali, ia menunjukan sikap yang sangat anti terhadap Liga Demokrasi. Selang beberapa bulan kemudian, Liga ini dibubarkan oleh Soekarno tanpa ada yang bisa mempertahankan. Setelah bubarnya Liga Demokrasi, udara otoriter semakin mewarnai pemerintahan Soekarno. Dukungan partai-partai menyebabkan Soekarno berpikir bahwa sistem yang diciptakannya berjalan mulus. Dengan kata lain, demokrasi yang diperjuangkan mati-matian oleh Masyumi dan PSI merupakan hanya sebuah gejala urban mengingat kedua partai ini bercorak kota terutama PSI. Masyumi sekalipun memiliki pengikut di daerah pedesaan, partai ini adalah partai kota karena partai ini mewakili kaum modernis muslim. Berbeda dengan NU yang mewakili Islam santri pedesaan. [11]
Kekecewaan Masyumi terhadap pemerintahan Soekarno juga terletak pada putusan Soekarno membentuk DPRGR. Masyumi yang telah dianggap sebagai musuh revolusi tidak mendapat kesempatan dalam DPRGR. Sebuah artikel dalam majalah Hikmah (milik Masyumi) mencerminkan sikap kekecewaan mereka juga kepada pihak NU yang telah bergabung dengan Demokrasi Terpimpin. [12]














BAB III
PENUTUP
Sebagai negara yang telah merdeka, Indonesia menginginkan sebuah bentuk negara demokrasi yang bisa membawa stabilitas politik dan kondisi negara. Soekarno sebagai orang yang terpilih sebagai pemimpin negeri ini telah menjalankan roda pemerintahan dengan berbagai macam ide politiknya. Soekarno yang mengusung tema politik Nasakom dan dengan model politik Demokrasi Terpimpin setidaknya telah membatasi gerak politik umat Islam. Masyumi yang pada awalnya sebagai satu-satunya partai politik yang legal bagi umat Islam menjadi kehilangan peran dalam politik Demokrasi Terpimpin. Partai Islam yang turut bergabung dalam Demokrasi Terpimpin pun tidak bisa total menyuarakan pendapat. Mereka harus mendukung ketetapan Soekarno agar tetap bisa bertahan dalam panggung politik. Soekarno menginginkan sebuah koalisi antara partai Nasionalis, Agama, dan Komunis.
Dalam menyikapi politik Soekarno, umat Islam terbagai menjadi dua kelompok. Kelompok yang pertama adalah mereka yang mendukung atau setidaknya terlibat dalam politik Demokrasi Terpimpin (NU, PSII, dan Perti). Mereka tergabung dalam Liga Muslim. Kelompok kedua adalah golongan partai politik yang berusaha melawan Demokrasi Terpimpin dan ingin mewujudkan demokrasi yang lebih demokratis (Masyumi dan PSI). Golongan partai yang menentang demokrasi terpimpin tergabung dalam Liga Demokrasi. Meskipun pada akhirnya apa yang dicita-citakan oleh Liga Demokrasi tidak tercapai, namun setidaknya mereka telah memperjuangkan demokrasi yang tidak otoriter.










DAFTAR PUSTAKA


Maarif, Ahmad Syafii.1988. Islam dan Politik Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Yogaykarta: PT Pustaka Parama Abiwara
Maarif,  Ahmad Syafi’i. 1985. Islam dan Masyarakat Kenegaraan. Jakarta:LP3ES
Ricklefs, M.C. 1994.  Sejarah Indonesia Modern. Terj.Dharmono Hardjowidjono . Yogyakarta:Gajah Mada University Press



[1]Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masyarakat Kenegaraan, (Jakarta:LP3ES, 1985 ) hlm. 115  
[2] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1960), (Yogyakarta:PT Pustaka Parama Abiwara, 1988) hlm.38
[3] Ibid, hlm.38-40
[4] Maarif, Islam dan Masyarakat Kenegaraan,... hlm. 178
[5]  Ibid, hlm.183-186
[6] M.C.Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terj.Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta:Gajah Mada University Press, 1994)hlm.403-404
[7] Ibid, hlm.406
[8] Maarif, Islam dan Politik Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), ...hlm. 52    
[9] Ibid, hlm.57
[10] Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern.  Terj.Dharmono Hardjowidjono... hlm 405
[11] Maarif, Islam dan Politik Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)...hlm.64-65
[12] Maarif, Islam dan Masyarakat Kenegaraan, hlm187

Tidak ada komentar:

Posting Komentar