BAB I
PENDAHULUAN
Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 membawa periode
dan babak sejarah baru bagi bangsa Indonesia. Setelah memproklamasikan diri
sebagai negara yang merdeka, Indonesia berusaha membenahi stabilitas negara untuk
membentuk suatu negara yang berdaulat. Dalam masa awal kemerdekaan dibentuklah
BPUPKI sebagai badan yang menyiapkan kemerdekaan. Sebagai sebuah negara yang
merdeka dan berdaulat dibutuhkan suatu dasar negara untuk bisa menjalankan
kehidupan pemerintahan bernegara. Pembentukan dasar negara ini memerlukan suatu
penggodokan yang matang mengingat Indonesia yang baru merdeka memiliki
keanekaragaman budaya dan keyakinan.
Dalam pembentukan dasar negara ini melibatkan berbagai elemen
masyarakat termasuk umat Islam. Pembahasan dasar negara yang terangkum melalui
Piagam Jakarta banyak melibatkan peran umat Islam dalam penyusunannya. Namun,
akhir dari terbentuknya dasar negara menimbulkan kekecewaan dipihak umat Islam.
Kekecewaan umat Islam tidak berhenti di situ saja. Pada masa selanjutnya umat
Islam juga tidak memiliki kebebasan dalam berpolitik. Soekarno sebagai penguasa
RI hanya mengizinkan Masyumi sebagai satu-satunya wadah perpolitikan umat
Islam. Masyumi yang beranggotakan berbagai organisasi Islam pun akhirnya tidak
bisa memberikan kepuasan dan kebebasan
terhadap para anggotanya.
Banyak kalangan Islam yang menilai bahwa kebijakan Presiden
Soekarno tidak banyak berpihak terhadap umat Islam. Mengingat banyaknya peran
umat Islam sejak masa perjuangan sampai masa kemerdekaan hal ini menyebabkan
kekecewaan di pihak umat Islam. Kebijakan lain apakah yang diterapkan Presiden
Soekarno dalam masa pemerintahan Orde lamanya? Bagaimana reaksi umat Islam
terhadap kebijakan pemerintah? Hal inilah yang akan dibahas dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Kebijakan
Pemerintah Orde Lama
Pendeknya
usia Piagam Jakarta dalam sejarah konstitusionalisme Indonesia tidak
mengendorkan semangat politik umat Islam dalam perpolitikan Indonesia sebagai
negara yang baru merdeka. Gerak politik umat Islam diwadahi melalui Parati
Masyumi buatan Indonesia. Partai Masyumi sebagai satu-satunya partai politik
bagi umat Islam memiliki keanggotaan dari berbagai organisasi Islam maupun
perorangan. Nu dan Muhammadiyah merupakan anggota yang mendominasi Masyumi.
Namun, keutuhan keanggotaan Partai Masyumi tidak bisa bertahan lama. Keluarnya
PSII dari Masyumi merupakan awal dari perpecahan dalam tubuh Masyumi. Pada
tahun 1952 menyusul NU sebagai penyokong besar Masyumi keluar dari partai
tersebut. NU mengubah dirinya dari jami’ah (gerakan sosio-keagamaan) menjadi
partai politik yang berdiri sendiri. Keluarnya NU dari tubuh Masyumi merupakan
goncangan hebat bagi Masyumi mengingat pengikut NU yang cukup banyak di tiga
daerah yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan.[1] Dengan
tampilnya NU sebagai partai politik, maka umat Islam terbagi menjadi dalam
empat partai yaitu Masyumi, PSII, NU, dan Perti.[2]
Pada
awal Demokrasi Parlementer, Masyumi masih memegang peranan aktif dalam politik.
Pada masa kabinet Natsir dan Kabinet Soekiman, posisi menteri Agama berada
ditangan K.H. Wahid Hasyim (tokoh NU dalam Masyumi). Namun, pada masa Kabinet
Wilopo-Prawoto yang dimulai sejak April 1952, posisi Menteri agama dipegang
oleh K.H. Fakih Usman (unsur Muhammadiyah dalam Masyumi). Dalam masa kabinet
ini NU memang tidak terwakili, sementara Masyumi menduduki empat kursi dan PSII
satu kursi. Pertengahan tahun 1953 Kabinet Wilopo digantikan dengan Kabinet Ali
Sastroamidjojo I. Dalam kabinet ini NU telah berdiri sendiri sebagai partai
politik dan mula-mula hanya menduduki tiga kursi namun setelah terjadi
perubahan, NU mendapat empat kursi yang meliputi kursi wakil perdana menteri I,
menteri dalam negeri, menteri agama, dan menteri agraria. Kabinet Ali I jatuh
pada bulan Juli 1945 dan digantikan oleh kabinet Burhanudin Harahap (Masyumi).
Kabinet ini merupakan kabinet terakhir sampai partai tersebut bubar pada tahun
1960. Salah satu prestasi dari kabinet ini adalah berhasil menyelenggarakan
Pemilu pertama pada tahun 1955.[3]
Sebelum
dikeluarkannya Dekrit 5 Juli, pada tanggal 22 April 1959, Soekarno sebagai
Presiden pertama RI menyampaikan definisi Demokrasi Terpimpin. Salah satu
definisi mengatakan bahwa Demokrasi Terpimpin ialah demokrasi yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Namun, dalam
kesempatan lain Soekarno menyampaikan bahwa Demokrasi Terpimpin adalah
demokrasi kekeluargaan, tanpa anarkinya liberalisme dan tanpa otokrasi yang
diktator. Yang dimaksud dengan demokrasi kekeluargaan adalah demokrasi yang
mendasarkan sistem pemerintahannya kepada musyawarah dan mufakat dalam satu
kekuasaan sentral ditangan ‘sesepuh’ yang tidak diktator dan mengayomi
masyarakat.
Periode
Demokrasi Parlementer berakhir setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Dekrit 5 Juli mengukuhkan kembali UUD 1945 dan pembubaran Majelis
Konstituante serta sebagai tanda dimulainya fase baru yang disebut Demokrasi
Terpimpin.[4]
Soekarno memilih Demokrasi Terpimpin sebagai bentuk demokrasi Indonesia karena
menurutnya Demokrasi Parlementer tidak bisa mewujudkan cita-cita demokrasi
bangsa Indonesia. Kekecewaan Soekarno pada keadaan yang sebenarnya juga
berpangkal dari tidak terwujudnya kabinet gotong royong yang diinginkannya di
mana PKI turut serta di dalamnya. Soekarno membentuk Dewan Nasional pada
tanggal 11 Juli 1959 yang diketuai oleh Soekarno sendiri. Lalu pada tanggal 22
Juli 1959 Dewan Nasional diganti dengan Dewan Pertimbangan Agung Sementara
(DPAS) yang juga diketuai oleh Soekarno. Penanganan sehari-hari DPAS diserahkan
oleh wakilnya, Roeslan Abdoelgani, tokoh PNI. DPAS ini pulalah yang mengusulkan
agar pidato kenegaraan presiden tanggal 17 Agustus 1959 dijadikan sebagai
Manifesto Politik
. Dalam
pidatonya taggal 17 Agustus 1959 Soekarno menyampaikan dasar-dasar Demokrasi
Terpimpin. Dasar-dasar tersebut yaitu:
1)
tiap-tiap orang
diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, bangsa, dan
negara.
2)
tiap-tipa orang
berhak mendapat penghidupan layak dalam masyarakat, bangsa, dan negara.
Demokrasi
Terpimipin pemusatan kekuasaan ditangan seorang pemimpin dalam hal ini
Soekarno, membawa konsekuensi politik bagi umat Islam. Sayap pesantren, yaitu
NU bersama PSII dan Perti diizinkan hidup di bawah payung Demokrasi terpimpin.
Mereka berusaha menyesuiakan diri dengan kondisi politik yang baru dan berusaha
bertindak selalu menyenangkan Soekarno. Di sisi lain, kaum modernis bagi
Soekarno merupakan penghalang revolusi. Kaum modernis terutama Masyumi dianggap
sebagai musuh revolusi. Adanya perbedaan antara musuh dan kawan revolusi
menyebabkan kristalisasi dalam tubuh umat Islam. Pada tanggal 20 Maret 1960
Soekarno membubarkan parlemen dan menggantinya dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong (DPRGR). Anggota DPRGR yang dipilih merupakan mereka yang
mengiakan Soekarno. Tokoh-tokoh Masyumi dan PSI tidak dimasukan dalam anggota
DPRGR dengan alasan bahwa kedua partai tersebut terlibat dalam pemberontakan.
Jika diteliti lebih cermat, keanggotaan DPRGR terdiri dari 94 pihak
Nasionalis-Sekuler, kelompok Komunis mendapat 81 kursi, dan wakil Islam hanya
mendapat 67 kursi. Di sini umat Islam kehilangan kursi sebanyak 48 jika
dibandingkan dengan parlemen sebelumnya. Namun, yang lebih menderita kerugian
adalah modernis yang telah dicap sebagai musuh revolusi.[5]
Soekarno juga menyampaikan ideologi Demokrasi Terpimpin yang beberapa bulan
kemudian disebut Manifesto Politik (Manipol). Ia menyerukan semangat revolusi,
keadilan sosial, dan revitalisasi lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi
negara demi revolusi yang berkesinambungan. Pada awal tahun 1960 ideologi yang
samar-samar ini menjadi semakin rumit dengan ditambahkannya kata USDEK
(Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi
Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Soekarno mengharuskan pers mendukung
Manipol-USDEK yang dicetuskannya. Namun, beberapa redaktur yang pro-Masyumi dan
pro-PSI menolak sikap mendukung terhadap Manipol-USDEK. Sebagai akibatnya,
terjadi pembredelan surat kabar.[6]
Kebijakan-kebijakan
politik Soekarno kini lebih menekankan pada adanya persatuan antara Nasionalisme,
Islam, dan Marxisme. Dengan berkurangnya peran umat Islam dalam panggung
politik Demokrasi Terpimpin menunjukan bahwa Soekarno menginginkan suatu
koalisi politik antara kaum Nasionalis, Agama, dan Komunis. Tema yang diangkat
oleh Soekano adalah Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Perwujudan dari
politik Nasakom ini adalah tampilnya PNI sebagai wakil Nasionalis, NU sebagai
wakil Agama, dan PKI sebagai wakil Komunis dalam koalisi kabinet baru bentukan
Soekarno.[7]
2.
Reaksi Umat
Islam terhadap Pemerintah Orde Baru
Bentuk
Demokrasi Terpimpin yang dipilih oleh Soekarno setidaknya telah mempersempit gerak umat Islam dalam panggung
politik Indonesia. Ketidakpuasan Soekarno yang hanya sebagai presiden simbol
sebagaimana ditetapkan dalam UUDS 1950 sebagai landasan konstitusional
pelaksanaan Demokrasi Parlementer, menyebabkan Soekarno menetapkan Demokrasi
Terpimpin. Keinginan Soekarno untuk berkuasa secara langsung disampaikan
pertama kali pada tanggal 28 Oktober 1956 pada waktu ia mengemukakan konsepsi
Bung Karno. Perpindahan politik ini dianggap oleh sebagian orang telah
menyimpang dari UUDS 1950. Di antara reaksi terhadap move politik
Soekarno dilontarkan oleh Isa Anshory, anggota DPR. Menurutnya, konsepsi Bung
karno memungkinkan terbentuknya demokrasi yang tanpa oposisi.[8]
Umat
Islam sendiri memiliki pandangan yang berbeda terhadap demokrasi terpimpin.
Pada garis besarnya, umat Islam terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan
yang kontra dan golongan yang ikut tergabung dalam Demokrasi Terpimpin. Masyumi
sebagai golongan yang menentang model politik Soekarno memandang bahwa Demokrasi
Terpimpin merupakan sistem demokrasi yang otoriter, yang menyimpang dari ajaran
Islam. Oleh sebab itu, Masyumi tidak mau terlibat dalam politik Soekarno. Kelompok
kedua yaitu kelompok Liga Muslim (NU, PSII, dan Perti) yang turut serta dalam
Demokrasi Terpimpin. Keterlibatan mereka dalam politik Demokrasi Terpimpin merupakan
sebuah sikap yang realistik dan pragmatik. Saifudin Zuhri (NU), misalnya,
membawakan dalil “Apa yang tidak bisa diraih secara utuh maka sebagian yang
lain jangan dilepaskan” untuk membenarkan keterlibatan NU dalam Demokrasi
Terpimpin.[9] Berdasarkan
dalil yang diajarkan di pesantren inilah NU turut masuk dalam Demokrasi
Terpimpin.
Berbeda
dengan Masyumi yang memandang Demokrasi Terpimpin akan membawa bencana bagi
bangsa dan negara. Sikap penolakan Masyumi dan PSI terhadap Demokrasi Terpimpin
menyebabkan kedua partai politik Islam tersebut melancarkan perlawanan terhadap
pemerintah. Pada bulan Maret 1960, Masyumi dan PSI menolak anggaran belanja
pemerintah yang diajukan pada rapat DPR yang terpilih tahun 1955 (lembaga
terakhir di mana mereka terwakili). Maka atas dorongan Hatta dan beberapa tokoh
militer, PSI, Masyumi dan beberapa sekutunya membentuk Liga Demokrasi sebagai
tandingan Demokrasi Terpimpin.[10]
Liga Demokrasi dibentuk pada tanggal 24 Maret 1960 yang beranggotakan
tokoh-tokoh Masyumi, PSI, Partai Katolik, Parkindo, IPKI, dan juga dua tokoh
NU. Di depan memang telah disebutkan secara umum NU mendukung dan ikut terlibat
dalam Demokrasi terpimpin. Namun, K.H. M. Dahlan dan Imron Rosjadi menentang
Demokrasi Terpimpin. Mereka memang tidak bisa membawa penentangan tersebut ke dalam
garis politik.
Liga
Demokrasi mula-mula dibentuk sebagai bentuk protes terhadap pembubaran DPR
pilihan rakyat. Namun, tujuan jangka panjangnya memang untuk melawan sistem
otoriter Soekarno. Pada saat Liga didirikan, Soekarno sedang berada di luar
negeri. Setelah ia kembali, ia menunjukan sikap yang sangat anti terhadap Liga
Demokrasi. Selang beberapa bulan kemudian, Liga ini dibubarkan oleh Soekarno tanpa
ada yang bisa mempertahankan. Setelah bubarnya Liga Demokrasi, udara otoriter
semakin mewarnai pemerintahan Soekarno. Dukungan partai-partai menyebabkan Soekarno
berpikir bahwa sistem yang diciptakannya berjalan mulus. Dengan kata lain,
demokrasi yang diperjuangkan mati-matian oleh Masyumi dan PSI merupakan hanya
sebuah gejala urban mengingat kedua partai ini bercorak kota terutama PSI.
Masyumi sekalipun memiliki pengikut di daerah pedesaan, partai ini adalah
partai kota karena partai ini mewakili kaum modernis muslim. Berbeda dengan NU
yang mewakili Islam santri pedesaan. [11]
Kekecewaan
Masyumi terhadap pemerintahan Soekarno juga terletak pada putusan Soekarno membentuk
DPRGR. Masyumi yang telah dianggap sebagai musuh revolusi tidak mendapat
kesempatan dalam DPRGR. Sebuah artikel dalam majalah Hikmah (milik Masyumi)
mencerminkan sikap kekecewaan mereka juga kepada pihak NU yang telah bergabung
dengan Demokrasi Terpimpin. [12]
BAB III
PENUTUP
Sebagai
negara yang telah merdeka, Indonesia menginginkan sebuah bentuk negara
demokrasi yang bisa membawa stabilitas politik dan kondisi negara. Soekarno
sebagai orang yang terpilih sebagai pemimpin negeri ini telah menjalankan roda
pemerintahan dengan berbagai macam ide politiknya. Soekarno yang mengusung tema
politik Nasakom dan dengan model politik Demokrasi Terpimpin setidaknya telah
membatasi gerak politik umat Islam. Masyumi yang pada awalnya sebagai
satu-satunya partai politik yang legal bagi umat Islam menjadi kehilangan peran
dalam politik Demokrasi Terpimpin. Partai Islam yang turut bergabung dalam
Demokrasi Terpimpin pun tidak bisa total menyuarakan pendapat. Mereka harus
mendukung ketetapan Soekarno agar tetap bisa bertahan dalam panggung politik.
Soekarno menginginkan sebuah koalisi antara partai Nasionalis, Agama, dan
Komunis.
Dalam
menyikapi politik Soekarno, umat Islam terbagai menjadi dua kelompok. Kelompok
yang pertama adalah mereka yang mendukung atau setidaknya terlibat dalam
politik Demokrasi Terpimpin (NU, PSII, dan Perti). Mereka tergabung dalam Liga
Muslim. Kelompok kedua adalah golongan partai politik yang berusaha melawan
Demokrasi Terpimpin dan ingin mewujudkan demokrasi yang lebih demokratis (Masyumi
dan PSI). Golongan partai yang menentang demokrasi terpimpin tergabung dalam
Liga Demokrasi. Meskipun pada akhirnya apa yang dicita-citakan oleh Liga
Demokrasi tidak tercapai, namun setidaknya mereka telah memperjuangkan
demokrasi yang tidak otoriter.
DAFTAR PUSTAKA
Maarif,
Ahmad Syafii.1988. Islam dan Politik Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin
(1959-1965). Yogaykarta: PT Pustaka Parama Abiwara
Maarif,
Ahmad Syafi’i. 1985. Islam dan
Masyarakat Kenegaraan. Jakarta:LP3ES
Ricklefs,
M.C. 1994. Sejarah Indonesia Modern.
Terj.Dharmono Hardjowidjono . Yogyakarta:Gajah Mada University Press
[1]Ahmad Syafi’i
Maarif, Islam dan Masyarakat Kenegaraan, (Jakarta:LP3ES, 1985 ) hlm. 115
[2] Ahmad Syafii
Maarif, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1960),
(Yogyakarta:PT Pustaka Parama Abiwara, 1988) hlm.38
[3] Ibid,
hlm.38-40
[4] Maarif, Islam
dan Masyarakat Kenegaraan,... hlm. 178
[5] Ibid, hlm.183-186
[6] M.C.Ricklefs, Sejarah
Indonesia Modern, Terj.Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta:Gajah Mada
University Press, 1994)hlm.403-404
[10] Ricklefs, Sejarah
Indonesia Modern. Terj.Dharmono
Hardjowidjono... hlm 405
[11] Maarif, Islam
dan Politik Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)...hlm.64-65
[12] Maarif, Islam
dan Masyarakat Kenegaraan, hlm187
Tidak ada komentar:
Posting Komentar