Cari Blog Ini

Kamis, 19 April 2012

kedudukan arkeologi bagi historiografi indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
Penulisan sejarah selalu tidak pernah terlepas dari sumber. Ada banyak jenis sumber sejarah jika ditinjau dari berbagai aspek. Salah satu pengelompokan sumber sejarah yaitu sumber tertulis dan sumber tidak tertulis. Sunber tertulis meliputi dokumen-dokumen, inskripsi, literatur, dan lain-lain. Sedangkan sumber tidak tertulis salah satunya adalah bukti arkeologis. Dalam usaha penulisan sejarah, sumber-sumber tersebut saling melengkapi.
Berkaitan dengan sejarah Indonesia, usaha penulisan juga sudah dimulai sejak era kolonial. Pada perkembangannya, penulisan sejarah Indonesia semakin berkembang hingga mencakup periode prasejarah. Untuk bisa merekonstruksi sejarah Indonesia yang panjang, perlu dilakuakn beberapa metode dengan menggunakan beberapa sumber yang terpercaya.
Sehubungan dengan hal tersebut, pembahasan makalah ini memiliki fokus kajian arkeologi dan kedudukannya dalam penulisan sejarah Indonesia. Karenaadanya kendala dalam hal referensi buku mka kami hanya menawarkan dua rumusan masalah dengan pembahasan yang tidak terlalu luas, yaitu mengenai pengertian arkeologi dan kedudukan arkeologi dalam penulisan sejarah Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Arkeologi
Arkeologi, berasal dari bahasa Yunani, archaeo yang berarti "kuna" dan logos, yang berarti "ilmu". Nama alternatif arkeologi adalah ilmu sejarah kebudayaan material. Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan (manusia) masa lalu melalui kajian sistematis atas data bendawi yang ditinggalkan. Kajian sistematis meliputi penemuan, dokumentasi, analisis, dan interpretasi data berupa artefak (budaya bendawi, seperti kapak batu dan bangunan candi) dan ekofak (benda lingkungan, seperti batuan, rupa muka bumi, dan fosil) maupun fitur (artefaktual yang tidak dapat dilepaskan dari tempatnya (situs arkeologi)). Teknik penelitian yang khas adalah penggalian (ekskavasi) arkeologis, meskipun survei juga mendapatkan porsi yang cukup besar.
Tujuan arkeologi beragam dan menjadi perdebatan yang panjang. Di antaranya adalah yang disebut dengan paradigma arkeologi, yaitu menyusun sejarah kebudayaan, memahami perilaku manusia, serta mengerti proses perubahan budaya. Karena bertujuan untuk memahami budaya manusia, maka ilmu ini termasuk ke dalam kelompok ilmu humaniora. Arkeologi pada masa sekarang merangkumi berbagai bidang yang berkait. Sebagai contoh, penemuan mayat yang dikubur akan menarik minat pakar dari berbagai bidang untuk mengkaji tentang pakaian dan jenis bahan digunakan, bentuk keramik dan cara penyebaran, kepercayaan melalui apa yang dikebumikan bersama mayat tersebut, pakar kimia yang mampu menentukan usia galian melalui cara seperti metoda pengukuran karbon 14. Sedangkan pakar genetik yang ingin mengetahui pergerakan perpindahan manusia purba, meneliti DNAnya.
Secara khusus, arkeologi mempelajari budaya masa silam, yang sudah berusia tua, baik pada masa prasejarah (sebelum dikenal tulisan), maupun pada masa sejarah (ketika terdapat bukti-bukti tertulis). Pada perkembangannya, arkeologi juga dapat mempelajari budaya masa kini, sebagaimana dipopulerkan dalam kajian budaya bendawi modern (modern material culture).[1]

B.     Kedudukan Arkeologi dalam Penulisan Sejarah Indonesia
Arkeologi merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dengan sejarah. Khusus untuk wilayah Indonesia, arkeologi sangat erat kaitannya dengan sejarah kuno atau sejarah masa awal.  Soekmono menjelaskan bahwa arkeologi sangat erat kaitannya dan menempati posisi pertama dalam kajian ancient history (sejarah kuno).[2] Meskipun penelitian lapangan tidak bisa dipisahkan dari sejarah kuno, namun penelitian arkeologi lebih memiliki fokus pada pengungkapan sejarah kuno. Penelitian lapangan menunjukkan bahwa sejarah Indonesia masa prasejarah dan masa Hindhu Budha banyak menggunakan sumber arkeologis dari lapangan. Seperti yang dikatakan O.G.S Crawford bahwa arkeologi lebih fokus dan lebih banyak memberi informasi bagi pengungkapan sejarah kuno bila dibandingkan dengan sumber sejarah tertulis.[3]
Objek kajian arkeologi adalah benda-benda peninggalan kebudayaan masa lalu. Sumber yang digunakan untuk menulis sejarah zaman prasejarah semuanya adalah bukti arkeologis karena pada masanya belum ditemukan sumber tertulis. Pada periode sejarah kuno banyak ditemukan sumber arkeologi daripada sumber dokumen tertulis sebagai bukti penting kejayaan kebudayaan pada saat itu.
Penulisan sejarah Indonesia kuno masih terpisah-pisah. Masih banyak area kosong yang perlu ditulis. Kekosongan sejarah atau missing link history diisi dengan hipotesis untuk mengaitkan beberapa peristiwa yang masih belum lengkap informasi dan datanya. Hipotesis-hipotesis yang dibuat para ahli bisa dengan cepat berubah apabila telah ditemukan bukti-bukti sejarah yang tidak sesuai dengan hipotesis yang dibuat. Hal tersebut menghasilkan banyak tulisan dan literatur yang dibuat oleh para ahli. Namun, sumber-sumber tertulis tersebut belum cukup untuk menulis sejarah kuno secara lengkap. Di sisi lain, sejarah kuno Indonesia memiliki banyak peninggalan berupa bangunan, patung-patung, perkampungan, dan kepercayaan sebagai sumber tidak tertulis. Hal ini merupakan pencapain yang laur biasa bai sejarah kuno Indonesia sebagai hasil arsitektural masa lalu.[4]
Arkeologi Indonesia merupakan sumber material pendukung sejarah Indonesia yang lebih fokus pada sejarah kuno. Graham Clark menyatakan bahwa masih banyak celah yang bisa digali berkaitan dengan ketidaksempurnaan penulisan sejarah dengan memanfaatkan sumber material arkeologi. Penulisan sejarah Indonesia banyak menggunakan sumber inskripsi. Inskripsi tidak banyak memberikan informasi mengenai peristiwa sejarah kuno. Kerajaan tertua di Borneo timur dan Jawa Barat memiliki banyak inskripsi tetapi tidak menghasilkan sumber penulisan. Sedangkan bukti arkeologis yang berkaitan dengan dua kerajaan tersebut belum ditemukan. Ada dua inskripsi yang saling bersinggungan seperti inskripsi Erlangga yang dikenal dengan batu Kalkuta (1041 M). Meskipun hanya bersumber pada inskripsi,namun periode ini dapat ditulis sejarahnya dengan lengkap. Hal ini merupakan pengecualian. Secara umum, inskripsi tidak bisa berdiri sendiri bila dijadikan sebagai sumber sejarah.
Dalam usaha kita menulis sejarah Indonesia, informasi tertulis dari luar, seperti dari China banyak membantu dalam penulisan dan usaha rekonstruksi sejarah. Dengan mengkolaborasikan sumber China dan inskripsi yang ada, Goerge Coedes dapat menggambarkan sebuah kesimpulan bahwa kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan terbesar pada masanya dengan pusat pemerintahan di Palembang. Dengan memperhatikan keberadaan Sriwijaya, pendapat Coedes dapat diterima secara ilmiah. Namun, untuk lokasi banyak perbedaan pendapat. Para ahli sejarah memiliki interpretasi yang berbeda-beda dalam menerjemahkan sumber yang ada. Kendala bahasa juga menjadi salah satu faktornya. Sedikitnya sumber arkeologi yang berhubungan dengan Sriwijaya menimbulkan kendala tersendiri.
Selain inskripsi, ada sumber tertulis lain yang berupa literatur. Sama dengan inskripsi, literatur juga tidak bisa dijadikan sumber utama dalam penulisan sejarah. Hal ini terlihat dari Kerajaan  Kediri yang memiliki banyak literatur namun tidak banyak memberikan sumbangan pada historoigrafi. Tapi, Nagarakartagama sebagai hasil karya kerajaan Majapahit memiliki kasus yang berbeda. Kitab ini bisa menjelaskan sejarah kerajaan Singasari dan Majapahit dari awal abad tiga belas hingga pertengahan abad keempat belas. Dengan melakukan pengecekan data dengan kitab Pararaton, bukti lain yang berupa inskripsi dan candi memungkinkan Negarakartagama memuat rekonstruksi sejarah yang cukup lengkap. Usaha rekonstruksi sejarah dengan memanfaatkan bukti tertulis dilakukan oleh Berg yang berusaha memberikan interpretsi baru.
Arkeologi memiliki kontribusi yang positif terhadap penulisan sejarah Indonesia. Contoh menarik adalah adanya penemuan dua bangunan dalam Candi Kalasan yang sampai saat ini masih berdiri. Penemuan arkeologi ini berhasil mengungkap sejarah Jawa Tengah antara pertengahan abad ke-8 dan pertengahan abad ke-9. Jawa Tengah saat itu dikuasai oleh dua dinasti:dinasti sailendar di bagian selatan dan dinsati sanjaya yang beragama di bagain utara.[5]
Dari data yang ada dapat disimpulkan bahwa adanya sebuah penjelasan fakta bahwa di bagian utara Jawa Tengah telah ditemukan Candi Syiwa dan di bagian selatan telah ditemukan Candi Budha. Diasumsikan ketiga candi kalasan tersebut memiliki hubungan dengan Candi Dieng ataukah Candi Dieng dan Candi Kalasan adalah kedua hal yang berbeda karena memiliki seni arsitektur yang berbeda pula. Titik temu  antara keduanya ada di Candi Lara Jonggrang. Candi tersebut dibuat setelah kedua dinasti yang berkuasa disatukan dengan pernikahan Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya dengan Primowardani dari Dinasti Syailendra.
Arkeologimemungkinkan terjadinya perubahan historiografi sejarah. Seperti yang terjadi pada kasus Candi Lara Jonggrang, terjadi pergeseran kurun waktu yaitu dari abad ke-10 menjadi abad ke-9. Hal ini mengubah sejarah di jawa tengah. Perubahan ini dapat meluas dan berdampak pada penulisan sejarah. Setiap waktu, arkeologi berhasil menyumbangkan bukti baru. Pada pertengahan tahun 1960-an telah dilakukan ekskavasi arkeologis di komplek Candi Sewu dan berhasil mengungkapkan sebuah inskripsi dengan angka tahun 792 M  yang menyebutkan tentang perluasan komplek candi. Dari penemuan ini dapat diambil kesimpulan bahwa Candi Sewu ada sebelum tahun 792 M.
Pandangan yang serupa ada pada kasus sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, terutama di Jawa Timur.  Bukti tertua yang diketahui secara umum adalah makam Fatimah binti Maimun yang berangka tahun 1082 M. Namun, ditemukan juga makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik yng berangka tahun 1419 M. Karena nilai dari bukti pertama masih diragukan maka diasumsikan bahwa persebaran Islam di Jawa di mulai sejak abad ke-15.



















BAB III
PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa arkeologi memiliki kedudukan penting dlam penulisan sejarah. arkeologi sebagai sumber primer lebih banyak memberikan informasi sejarah bila dibandingkan dengan sumber tertulis seperti inskripsi atau literatur.
Dalam kaitannya dengan historiografi sejarah Indonesia, arkeologi erat kaitannya dengan sejarah prasejarah dan sejarah masa kuno. Meskipun pada sejarah kuno telah ditemukan sumber tertulis, namun sumber-sumber tertulis tersebut tidak banyak memberikan informasi mengenai peristiwa sejarah yang terjadi. Sumber tetulis tidak bisa berdiri sendiri dan harus menggunakan sumber lain yaitu sumber arkeologis.
Selain sebagai sumber primer, penemuan-penemuan arkeologi yang selalu berkembang juga memungkinkan adanya rekonstruksi sejarah. bukti baru yang lebih kuat akan mengubah sejarah yang telah ada.

DAFTAR PUSTAKA

Soedjatmoko, dkk. 1975. An Introduction to Indonesian Historiography. London: Cornell University Press
http://id.wikipedia.org/wiki/Arkeologi, di unduh tanggal 13-12-2011 jam 15.30



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Arkeologi, di unduh tanggal 13-12-2011 jam 15.30
[2] Soekmono menggambarkan bahwa ancient history adalah sejarah yang memiliki angka tahun tua, sejarah pada masa awal. 
[3] Soekmono “Archaeology and Indonesian History” dalam Soedjatmoko, dkk, ed, “ an Introduction to Indonesia Historiography”  (London:Cornell University Press, 1975), hlm.36
[4] Ibid, hlm.37
[5]Ibid, hlm.38-39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar