BAB I
PENDAHULUAN
Penulisan sejarah selalu tidak pernah terlepas dari sumber. Ada
banyak jenis sumber sejarah jika ditinjau dari berbagai aspek. Salah satu
pengelompokan sumber sejarah yaitu sumber tertulis dan sumber tidak tertulis. Sunber
tertulis meliputi dokumen-dokumen, inskripsi, literatur, dan lain-lain.
Sedangkan sumber tidak tertulis salah satunya adalah bukti arkeologis. Dalam
usaha penulisan sejarah, sumber-sumber tersebut saling melengkapi.
Berkaitan dengan sejarah Indonesia, usaha penulisan juga sudah
dimulai sejak era kolonial. Pada perkembangannya, penulisan sejarah Indonesia semakin
berkembang hingga mencakup periode prasejarah. Untuk bisa merekonstruksi
sejarah Indonesia yang panjang, perlu dilakuakn beberapa metode dengan
menggunakan beberapa sumber yang terpercaya.
Sehubungan dengan hal tersebut, pembahasan makalah ini memiliki
fokus kajian arkeologi dan kedudukannya dalam penulisan sejarah Indonesia.
Karenaadanya kendala dalam hal referensi buku mka kami hanya menawarkan dua rumusan
masalah dengan pembahasan yang tidak terlalu luas, yaitu mengenai pengertian
arkeologi dan kedudukan arkeologi dalam penulisan sejarah Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Arkeologi
Arkeologi, berasal dari bahasa Yunani, archaeo yang berarti "kuna" dan logos, yang berarti "ilmu". Nama alternatif arkeologi adalah ilmu sejarah
kebudayaan material.
Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan (manusia) masa lalu melalui
kajian sistematis atas data bendawi yang ditinggalkan. Kajian sistematis
meliputi penemuan, dokumentasi, analisis, dan interpretasi data berupa artefak (budaya bendawi, seperti kapak
batu dan bangunan candi)
dan ekofak
(benda lingkungan, seperti batuan, rupa muka bumi, dan fosil) maupun fitur
(artefaktual yang tidak dapat dilepaskan dari tempatnya (situs arkeologi)).
Teknik penelitian yang khas adalah penggalian (ekskavasi)
arkeologis, meskipun survei
juga mendapatkan porsi yang cukup besar.
Tujuan
arkeologi beragam dan menjadi perdebatan yang panjang. Di antaranya adalah yang
disebut dengan paradigma arkeologi, yaitu menyusun sejarah kebudayaan, memahami perilaku manusia,
serta mengerti proses perubahan budaya. Karena bertujuan untuk memahami budaya
manusia, maka ilmu ini termasuk ke dalam kelompok ilmu humaniora. Arkeologi pada masa sekarang
merangkumi berbagai bidang yang berkait. Sebagai contoh, penemuan mayat yang
dikubur akan menarik minat pakar dari berbagai bidang untuk mengkaji tentang
pakaian dan jenis bahan digunakan, bentuk keramik dan cara penyebaran, kepercayaan
melalui apa yang dikebumikan bersama mayat tersebut, pakar kimia yang mampu
menentukan usia galian melalui cara seperti metoda pengukuran karbon 14.
Sedangkan pakar genetik yang ingin mengetahui pergerakan perpindahan manusia
purba, meneliti DNAnya.
Secara khusus,
arkeologi mempelajari budaya masa silam, yang sudah berusia tua, baik pada masa
prasejarah (sebelum dikenal tulisan),
maupun pada masa sejarah (ketika terdapat bukti-bukti tertulis). Pada
perkembangannya, arkeologi juga dapat mempelajari budaya masa kini, sebagaimana
dipopulerkan dalam kajian budaya bendawi modern (modern material culture).[1]
B.
Kedudukan
Arkeologi dalam Penulisan Sejarah Indonesia
Arkeologi merupakan hal yang tidak
bisa dipisahkan dengan sejarah. Khusus untuk wilayah Indonesia, arkeologi
sangat erat kaitannya dengan sejarah kuno atau sejarah masa awal. Soekmono menjelaskan bahwa arkeologi sangat
erat kaitannya dan menempati posisi pertama dalam kajian ancient history (sejarah
kuno).[2] Meskipun
penelitian lapangan tidak bisa dipisahkan dari sejarah kuno, namun penelitian
arkeologi lebih memiliki fokus pada pengungkapan sejarah kuno. Penelitian
lapangan menunjukkan bahwa sejarah Indonesia masa prasejarah dan masa Hindhu
Budha banyak menggunakan sumber arkeologis dari lapangan. Seperti yang
dikatakan O.G.S Crawford bahwa arkeologi lebih fokus dan lebih banyak memberi
informasi bagi pengungkapan sejarah kuno bila dibandingkan dengan sumber
sejarah tertulis.[3]
Objek kajian arkeologi adalah
benda-benda peninggalan kebudayaan masa lalu. Sumber yang digunakan untuk
menulis sejarah zaman prasejarah semuanya adalah bukti arkeologis karena pada
masanya belum ditemukan sumber tertulis. Pada periode sejarah kuno banyak
ditemukan sumber arkeologi daripada sumber dokumen tertulis sebagai bukti
penting kejayaan kebudayaan pada saat itu.
Penulisan sejarah Indonesia kuno
masih terpisah-pisah. Masih banyak area kosong yang perlu ditulis. Kekosongan
sejarah atau missing link history diisi dengan hipotesis untuk
mengaitkan beberapa peristiwa yang masih belum lengkap informasi dan datanya.
Hipotesis-hipotesis yang dibuat para ahli bisa dengan cepat berubah apabila
telah ditemukan bukti-bukti sejarah yang tidak sesuai dengan hipotesis yang
dibuat. Hal tersebut menghasilkan banyak tulisan dan literatur yang dibuat oleh
para ahli. Namun, sumber-sumber tertulis tersebut belum cukup untuk menulis
sejarah kuno secara lengkap. Di sisi lain, sejarah kuno Indonesia memiliki
banyak peninggalan berupa bangunan, patung-patung, perkampungan, dan
kepercayaan sebagai sumber tidak tertulis. Hal ini merupakan pencapain yang
laur biasa bai sejarah kuno Indonesia sebagai hasil arsitektural masa lalu.[4]
Arkeologi Indonesia merupakan sumber
material pendukung sejarah Indonesia yang lebih fokus pada sejarah kuno. Graham
Clark menyatakan bahwa masih banyak celah yang bisa digali berkaitan dengan
ketidaksempurnaan penulisan sejarah dengan memanfaatkan sumber material
arkeologi. Penulisan sejarah Indonesia banyak menggunakan sumber inskripsi.
Inskripsi tidak banyak memberikan informasi mengenai peristiwa sejarah kuno.
Kerajaan tertua di Borneo timur dan Jawa Barat memiliki banyak inskripsi tetapi
tidak menghasilkan sumber penulisan. Sedangkan bukti arkeologis yang berkaitan
dengan dua kerajaan tersebut belum ditemukan. Ada dua inskripsi yang saling
bersinggungan seperti inskripsi Erlangga yang dikenal dengan batu Kalkuta (1041
M). Meskipun hanya bersumber pada inskripsi,namun periode ini dapat ditulis
sejarahnya dengan lengkap. Hal ini merupakan pengecualian. Secara umum, inskripsi
tidak bisa berdiri sendiri bila dijadikan sebagai sumber sejarah.
Dalam usaha kita menulis sejarah
Indonesia, informasi tertulis dari luar, seperti dari China banyak membantu
dalam penulisan dan usaha rekonstruksi sejarah. Dengan mengkolaborasikan sumber
China dan inskripsi yang ada, Goerge Coedes dapat menggambarkan sebuah
kesimpulan bahwa kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan terbesar pada masanya
dengan pusat pemerintahan di Palembang. Dengan memperhatikan keberadaan
Sriwijaya, pendapat Coedes dapat diterima secara ilmiah. Namun, untuk lokasi
banyak perbedaan pendapat. Para ahli sejarah memiliki interpretasi yang
berbeda-beda dalam menerjemahkan sumber yang ada. Kendala bahasa juga menjadi
salah satu faktornya. Sedikitnya sumber arkeologi yang berhubungan dengan
Sriwijaya menimbulkan kendala tersendiri.
Selain inskripsi, ada sumber
tertulis lain yang berupa literatur. Sama dengan inskripsi, literatur juga
tidak bisa dijadikan sumber utama dalam penulisan sejarah. Hal ini terlihat
dari Kerajaan Kediri yang memiliki
banyak literatur namun tidak banyak memberikan sumbangan pada historoigrafi.
Tapi, Nagarakartagama sebagai hasil karya kerajaan Majapahit memiliki
kasus yang berbeda. Kitab ini bisa menjelaskan sejarah kerajaan Singasari dan
Majapahit dari awal abad tiga belas hingga pertengahan abad keempat belas.
Dengan melakukan pengecekan data dengan kitab Pararaton, bukti lain yang
berupa inskripsi dan candi memungkinkan Negarakartagama memuat rekonstruksi
sejarah yang cukup lengkap. Usaha rekonstruksi sejarah dengan memanfaatkan
bukti tertulis dilakukan oleh Berg yang berusaha memberikan interpretsi baru.
Arkeologi memiliki kontribusi yang
positif terhadap penulisan sejarah Indonesia. Contoh menarik adalah adanya
penemuan dua bangunan dalam Candi Kalasan yang sampai saat ini masih berdiri. Penemuan
arkeologi ini berhasil mengungkap sejarah Jawa Tengah antara pertengahan abad
ke-8 dan pertengahan abad ke-9. Jawa Tengah saat itu dikuasai oleh dua
dinasti:dinasti sailendar di bagian selatan dan dinsati sanjaya yang beragama
di bagain utara.[5]
Dari data yang ada dapat disimpulkan
bahwa adanya sebuah penjelasan fakta bahwa di bagian utara Jawa Tengah telah
ditemukan Candi Syiwa dan di bagian selatan telah ditemukan Candi Budha.
Diasumsikan ketiga candi kalasan tersebut memiliki hubungan dengan Candi Dieng
ataukah Candi Dieng dan Candi Kalasan adalah kedua hal yang berbeda karena
memiliki seni arsitektur yang berbeda pula. Titik temu antara keduanya ada di Candi Lara Jonggrang.
Candi tersebut dibuat setelah kedua dinasti yang berkuasa disatukan dengan
pernikahan Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya dengan Primowardani dari Dinasti
Syailendra.
Arkeologimemungkinkan terjadinya
perubahan historiografi sejarah. Seperti yang terjadi pada kasus Candi Lara
Jonggrang, terjadi pergeseran kurun waktu yaitu dari abad ke-10 menjadi abad
ke-9. Hal ini mengubah sejarah di jawa tengah. Perubahan ini dapat meluas dan
berdampak pada penulisan sejarah. Setiap waktu, arkeologi berhasil
menyumbangkan bukti baru. Pada pertengahan tahun 1960-an telah dilakukan ekskavasi
arkeologis di komplek Candi Sewu dan berhasil mengungkapkan sebuah inskripsi dengan
angka tahun 792 M yang menyebutkan
tentang perluasan komplek candi. Dari penemuan ini dapat diambil kesimpulan
bahwa Candi Sewu ada sebelum tahun 792 M.
Pandangan yang serupa ada pada kasus
sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, terutama di Jawa Timur. Bukti tertua yang diketahui secara umum adalah
makam Fatimah binti Maimun yang berangka tahun 1082 M. Namun, ditemukan juga
makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik yng berangka tahun 1419 M. Karena nilai
dari bukti pertama masih diragukan maka diasumsikan bahwa persebaran Islam di Jawa
di mulai sejak abad ke-15.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa arkeologi memiliki kedudukan penting dlam penulisan sejarah.
arkeologi sebagai sumber primer lebih banyak memberikan informasi sejarah bila
dibandingkan dengan sumber tertulis seperti inskripsi atau literatur.
Dalam kaitannya dengan historiografi
sejarah Indonesia, arkeologi erat kaitannya dengan sejarah prasejarah dan
sejarah masa kuno. Meskipun pada sejarah kuno telah ditemukan sumber tertulis,
namun sumber-sumber tertulis tersebut tidak banyak memberikan informasi
mengenai peristiwa sejarah yang terjadi. Sumber tetulis tidak bisa berdiri
sendiri dan harus menggunakan sumber lain yaitu sumber arkeologis.
Selain sebagai sumber primer,
penemuan-penemuan arkeologi yang selalu berkembang juga memungkinkan adanya
rekonstruksi sejarah. bukti baru yang lebih kuat akan mengubah sejarah yang
telah ada.
DAFTAR PUSTAKA
Soedjatmoko, dkk. 1975. An Introduction to Indonesian
Historiography. London: Cornell University Press
[2]
Soekmono menggambarkan bahwa ancient history adalah sejarah yang
memiliki angka tahun tua, sejarah pada masa awal.
[3]
Soekmono “Archaeology and Indonesian History” dalam Soedjatmoko, dkk,
ed, “ an Introduction to Indonesia Historiography” (London:Cornell University Press, 1975),
hlm.36
[4]
Ibid, hlm.37
[5]Ibid,
hlm.38-39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar