M
NATSIR
1. Biografi
M Natsir yang bergelar
Datuk Sinaro Panjang terlahir di Jembatan
Berukir Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatra Barat, pada hari Jumat, 17
Jumadil Akhir 1326 H atau 17 Juli 1908. Ibunya bernama Khadijah dan ayahnya
Muhammad Idris Sutan Saripado, seorang pegawai rendahan yang pernah menjadi juru
tulis kantor kontroler di Maninjau. Pada tahun 1918 ia dipindahkan dari Alahan
ke Ujung Pandang sebagai sipir tahanan.
M Natsir mempunyai tiga saudara kandung. Di
tempat kelahirannya, ia melewati masa-masa sosialisasi keagamaan dan
intelektualnya yang pertama. Ia menempuh pendidikan dasar di sekolahan Belanda
dan belajar agama. Pada umurnya yang kedelapan belas tahun, ia berkeinginan
masuk ke HIS namun tidak terlaksana karena ia anak seorang pegawai rendahan. Ia
masuk sekolah partkelir HIS Adabiyah di Padang. Lima bulan pertamanya di
Padang, ia melewati kehidupan dengan berat. Dari sini ia memperoleh pelajaran.
Bahwa kebahagiaan bersumber dari hati bukan berdasarkan materi. Beberapa bulan
berikutnya ia dipindahkan ke sekolah HIS pemerintah di Solok. Di Solok inilah
ia untuk pertama kalinya belajar bahasa Arab dan mempelajari hukum fiqh kepada
Tuanku Mudo Amin yang dilakukannya di sore hari di Madrasah Diniyah dan mengaji
Al-Quran pada malam harinya.Pada tahun 1920 ia pindah ke Padang. Ia menamatkan
pendidikan HISnya pada tahun 1923[1].
Pada tahun 1923 ia melanjutkan pendidikannya ke MULO di Padang dengan beasiswa dan aktif diberbagai kegiatan Pada tahun 1927
ia lulus dari MULO dan meneruskan ke AMS Afdelling A di Bandung.[2]
Sejak belajar di AMS ia mulai tertarik pada pegerakan Islam dan belajar politik
di perkumpulan JIB. Organisasi ini mendapat pengaruh dari Haji Agus Salim.
Dalam JIB ia sering berdiskusi dengan teman-temanya. Kemampuannya yang menonjol
mengantarkan ia menjadi ketua JIB Bandung pada tahun 1928-1932. Kegiatan M
Natsir pada waktu itu telah mempengaruhi jiwanya untuk meraih gelar MR. ia
lulus dari AMS pada tahun 1930. Setelah lulus, M Natsir mengajar salah satu
MULO di Bandung.
M Natsir mendirikan sebuah
lembaga pendidikan Islam yang mengombinasikan pendidikan umum dan pesantren. Ia
menjabat sebagai direktur selama sepuluh tahun sejak tahun 1932. Pada tanggal
20 Oktober 1934, ia menikah dengan Nurnahar dan dikaruniai enam orang anak. Pada tahun 1938, M
Natsir mulai aktif dalam bidang politik mendaftarkan dirinya menjadi anggota
PII Bandung. Tahun 1940-1942 ia menjabat sebagai ketua dan bekerja di
pemerintahan sebagai kepala biro pendidikan kodya Bandung sampai tahun 1945
sekaligus merangkap sekretaris Sekolah Tinggi Islam Jakarta. Pada masa
pendudukan Jepang, M Natsir menjabat sebagai ketua partai Masyumi yang dibentuk
pada tanggal 7 November 1945.[3]
M Natsir wafat pada tanggal 6 Februari 1993 atau 14 Sya’ban 1413 H, di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo dalam usia 85 tahun.
2. Pemikiran
Deliar Noer menyebutkan M
Natsir sebagai intelektual-ulama atau ulama-intelektual. Ia tidak hanya
berkecimpung dalam dunia politik tapi juga dalam dunia keagamaan dan
pendidikan. M Natsir terjun dalam dunia politik untuk pertama kalinya saat ia
menempuh pendidikan AMS di Bandung dengan menjadi anggota JIB. Dalam usianya
yang kedua puluh tahun ia juga sempat bergaul dengan tokoh-tokoh nasional
seperti Hatta, Prawoto Mangunsasmito, Yusuf Wibisono, Tjokroaminoto, dan
Moh.Roem. Tahun 1928-1932 ia menjabat sebagai ketua JIB. Setelah belajar di
AMS, jiwanya terpanggil untuk mengajar di sekolah MULO di Bandung. Sadar akan
keadaan sekolah umum yang tidak mengajarkan agama, M Natsir lalu mendirikan
lembaga pendidikan Islam dan menjabat sebagai direktur selama sepuluh tahun
yaitu sejak tahun 1932.
Selain tergabung dalam
JIB, ia juga tergabung dalam Persis sebagai langkah awal kariernya sebagai
pejuang, negarawan, dan agamawan. Persis juga yang mengantarkan M Natsir sebagi
seorang tokoh dan pemimpin besar dunia. Persis didirikan oleh Haji Zam Zam pada
tanggal 12 September 1923. Awal mula ide yang menjadi cikal bakal muculnya
Persis adalah diskusi-diskusi yang tidak resmi yang dilakukan oleh Haji Zam
Zam. Diskusi-diskusi ini membahas tentang masalah-masalah seperti khurafat,
tahayul, bid’ah, dan taklid. Bentuk organisasi Persis menjadi jelas setelah
bergabungnya Ahmad Hassan dan M Natsir. Bentuk organisasi Persis adalah sosial
keagamaan dan pendidikan. Persis memperjuangkan berlakunya hukum-hukum Islam
dan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat.[4]
Untuk mewujudkan tujuannya tersebut, ditempuh dengan melakukan
pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khotbah-khotbah, kelompok-kelompok belajar, mendirikan
sekolah-sekolah, menerbitkan pamflet-pamflet, majalah-majalah, dan kitab-kitab.
Penerbitan inilah yang menyebabkan meluasnya pemikiran-pemikiran mereka. Persis
juga didukung oleh dua tokoh yang cukup berpengaruh di dalamnya. Ahmad Hassan
sebagai guru besar Persis dan M Natsir sebagai juru bicara untuk kalangan
pelajar. [5]
Ia banyak menuangkan pemikiran-pemikirannya dalam majalah yang diterbitkan
Persis yaitu Pembela Islam.
Keberadaan M Natsir dalam
partai Masyumi juga turut membawa perubahan dalam bidang agama, politik,
ekonomi, dan sosial. Masyumi yang beranggotakan berbagai organisasi Islam
didirikan pada tanggal 17 November 1945 melalui Kongres Nasional Umat Islam di
Yogyakarta dengan Sukiman sebagai ketuanya. M Natsir memimpin Masyumi sebagai
ketua umum sejak tahun 1949-1950. Sebagai pemimpin politik Islam, M Natsir
telah memberikan seluruh tenaga dan pikirannya bagi kepentingan umat Islam dan
bangsa Indonesia. Hal tersebut secara sederhana terbukti melalui apa yang
disebut “Mosi Integral M Natsir”. Pada tanggal 3 April 1950, pada sidang
parlemen RIS, M Natsir mengemukakan sebuah mosi yang memungkinkan terwujudnya
bentuk NKRI seperti sekarang. M Natsir mengemukakan bahwa pembentukan Masyumi
sebagai upaya penyaluran aspirasi politik umat Islam. Di sisi lain, munculnya
Masyumi adalah sebagai tanggapan positif umat Islam terhadap manifesto politik
Moh. Hatta yang mendorong pembentukan partai-partai. Tujuan dari partai Masyumi
sendiri adalah terlaksananya ajaran dan hukum Islam dalam kehidupan individu,
sosial, dan bernegara. Kedudukan M Natsir sebaga ketua umum tidaklah mudah.
Beberapa anggota Masyumi sering mengeluarkan suara-suara yang mengarah ke arah
provokasi yang memperburuk hubungan dengan partai non-Islam dan Presiden
Soekarno. Namun, hal ini bisa di atasi oleh M Natsir. M Natsir juga memiliki
tekad unuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Ide ini tergambar dalam
bukunya Islam sebagai ideologo dan juga dalam artikel dengan judul Agama
dan Negara. Alasannya adalah karena
Islam mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan bernegara dan dapat
menjamin keragaman hidup antarberbagai golongan dengan penuh toleransi. Ide M
Natsir ini menimbulkan perdebatan tentang ideologi negara apakah pancasila atau
Islam, atau sosial-konomi sejak November 1956-Juni 1959. Perdebatan tentang
dasar negara dalam Majelis Konstituante berakhir pada tanggal 2 Juni 1959 tanpa
suatu keputusan dan memicu Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5
Juli 1959 sekaligus membubarkan Majelis Konstituante. Peristiwa ini berujung
pada pembubaran partai Masyumi pada tanggal 17 Agustus 1960. Pembubaran Masyumi
tidak terlepas dari keterlibatan pemimin dan anggotanya seperti M Natsir dalam
pemberontakan yang berujung pada terbentuknya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Barat.
PRRI adalah pemerintahan tandingan terhadap pemerintahan pusat.
Pembubaran partai Masyumi
tidak menyurutkan semangat M Natsir untuk memperjuangkan Islam. Ia dan beberapa
tokoh Masyumi lainya mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) pada
tanggal 26 Februari 1967. Lembaga ini lahir dari sebuah kesepakatan dari
beberapa alim ulama di Jakarta pada acara halal bi halal. Lembaga ini juga
merupakan perpanjangan tangan Masyumi. Mereka membahas tentang perkembangan
dakwah Islam terutama pada masa transisi plitik setelah terjadi pergolakan G 30
S/PKI. M Natsir menduduki ketua umum
hingga akhir hayatnya.. Walaupun DDII bergerak dibidang dakwah, namun sesekali
DDII melakukan control politis sehingga tidak heran jika DDII dicurigai sebagai
Masyumi yang berbaju dakwah atau politik yang dipoles dakwah. Sebagai yayasan Islam, DDII mempunyai pedoman
dalam segala hal termasuk hubungan antaragama. Sebagai bentuk perjuangannya,
DDII mendirikan masjid, mengirimkan dai, menerbitkan pamflet, bulletin, dan tabloid. Kelanjutan perjuangan ini menunjukan
bahwa M Natsir benar-benar ingin berbuat sesuatu yang terbaik untuk kepentingan
bangsa dan umat Islam.
Keharuman nama M Natsir
juga merebak hingga keluar negeri karena berbagai kegiatan dakwah Islam
internasionalnya. Pada tahun 1956, bersama Syekh Maulana Abdul A’laa al-MAududi
dan Abu Hassan an-Nadwi M Natsir memimpin sidang Muktamar Alam Islam di
Damaskus. Ia juga menjabat sebagai presiden World Moslem Congres tahun 1967
sampai wafatnya. Ia juga menjadi anggota World Moslem League/Rabitah ‘Alam Islamy
tahun 1969 dan anggota Majlis ‘Ala al-‘Alamy li al-Masajid ( Dewan Masjid
Sedunia) dari tahun 1967 sampai akhir hayatnya. Ia juga dikenal karena
dukungannya yang tegas terhadap kemerdekaan bangsa-bangsa Islam di Asia dan
Afrika serta usahanya untuk menghimpun kerja sama antara negar-negara Islam
yang baru merdeka. Sebagai sesepuh pemimpin politik, M Natsir sering dimintai
nasihat dan pandanganya bukan saja oleh tokoh-tokoh PLO (Palestine Liberation
organization), mujahidin Afganistan, Moro, Bosnia, dan lain-lain tetapi juga
oleh tokoh-tokoh politik dunia nonmuslim seperti Jepang dan Thailand. Sebagai
penghormatan terhadap pengabdian M Natsir kepada dunia Islam, ia menerima
penghargaan internasional berupa bintang penghargaan dari Tunisia dan Yayasan
Raja Faisal Arab Saudi (1980). Di dunia akademik, ia menerima gelar doctor
honoris Causa dari Universitas Islam Lebanon (1967) dalam bidang sastra, dari
Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Saint Teknologi Malaysia (1991)
dalam bidang pemikiran Islam.[6]
Selain itu, ia juga mendapatkan
penghargaan dari Indonesia. Presiden RI, melalui Keputusan Presiden Nomor
41/TK/Tahun 2008, menetapkan M. Natsir sebagai Pahlawan Nasional, bertepatan
pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008 serta bersamaan dengan
peringatan 100 tahun M. Natsir.[7]
[1] Dr. Thohir Luth, M Natsir : Dakwah dan Pemikirannya, (Yogyakarta :
Gema Insani), hlm.21-22
[2] www.ensiklopedia tokoh Indonesia.com
[3] Ibid, hlm.24
[4] Ibid, hlm 31-32
[5] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta
: LP3ES), hlm 97
[6] Dr. Thohir Luth, M Natsir : Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta :
Gema Insani), hlm 30-62
[7] www.ensiklopedi tokoh
Indonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar