Cari Blog Ini

Selasa, 01 Mei 2012

M NATSIR

M NATSIR
1.      Biografi
M Natsir yang bergelar Datuk Sinaro Panjang terlahir  di Jembatan Berukir Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatra Barat, pada hari Jumat, 17 Jumadil Akhir 1326 H atau 17 Juli 1908. Ibunya bernama Khadijah dan ayahnya Muhammad Idris Sutan Saripado, seorang pegawai rendahan yang pernah menjadi juru tulis kantor kontroler di Maninjau. Pada tahun 1918 ia dipindahkan dari Alahan ke Ujung Pandang sebagai sipir tahanan.
 M Natsir mempunyai tiga saudara kandung. Di tempat kelahirannya, ia melewati masa-masa sosialisasi keagamaan dan intelektualnya yang pertama. Ia menempuh pendidikan dasar di sekolahan Belanda dan belajar agama. Pada umurnya yang kedelapan belas tahun, ia berkeinginan masuk ke HIS namun tidak terlaksana karena ia anak seorang pegawai rendahan. Ia masuk sekolah partkelir HIS Adabiyah di Padang. Lima bulan pertamanya di Padang, ia melewati kehidupan dengan berat. Dari sini ia memperoleh pelajaran. Bahwa kebahagiaan bersumber dari hati bukan berdasarkan materi. Beberapa bulan berikutnya ia dipindahkan ke sekolah HIS pemerintah di Solok. Di Solok inilah ia untuk pertama kalinya belajar bahasa Arab dan mempelajari hukum fiqh kepada Tuanku Mudo Amin yang dilakukannya di sore hari di Madrasah Diniyah dan mengaji Al-Quran pada malam harinya.Pada tahun 1920 ia pindah ke Padang. Ia menamatkan pendidikan HISnya pada tahun 1923[1]. Pada tahun 1923 ia melanjutkan pendidikannya ke MULO di Padang dengan beasiswa  dan aktif diberbagai kegiatan Pada tahun 1927 ia lulus dari MULO dan meneruskan ke AMS Afdelling A di Bandung.[2] Sejak belajar di AMS ia mulai tertarik pada pegerakan Islam dan belajar politik di perkumpulan JIB. Organisasi ini mendapat pengaruh dari Haji Agus Salim. Dalam JIB ia sering berdiskusi dengan teman-temanya. Kemampuannya yang menonjol mengantarkan ia menjadi ketua JIB Bandung pada tahun 1928-1932. Kegiatan M Natsir pada waktu itu telah mempengaruhi jiwanya untuk meraih gelar MR. ia lulus dari AMS pada tahun 1930. Setelah lulus, M Natsir mengajar salah satu MULO di Bandung.
M Natsir mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam yang mengombinasikan pendidikan umum dan pesantren. Ia menjabat sebagai direktur selama sepuluh tahun sejak tahun 1932. Pada tanggal 20 Oktober 1934, ia menikah dengan Nurnahar dan  dikaruniai enam orang anak. Pada tahun 1938, M Natsir mulai aktif dalam bidang politik mendaftarkan dirinya menjadi anggota PII Bandung. Tahun 1940-1942 ia menjabat sebagai ketua dan bekerja di pemerintahan sebagai kepala biro pendidikan kodya Bandung sampai tahun 1945 sekaligus merangkap sekretaris Sekolah Tinggi Islam Jakarta. Pada masa pendudukan Jepang, M Natsir menjabat sebagai ketua partai Masyumi yang dibentuk pada tanggal 7 November 1945.[3] M Natsir wafat pada tanggal 6 Februari 1993 atau 14 Sya’ban 1413 H, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dalam usia 85 tahun.

2.      Pemikiran
Deliar Noer menyebutkan M Natsir sebagai intelektual-ulama atau ulama-intelektual. Ia tidak hanya berkecimpung dalam dunia politik tapi juga dalam dunia keagamaan dan pendidikan. M Natsir terjun dalam dunia politik untuk pertama kalinya saat ia menempuh pendidikan AMS di Bandung dengan menjadi anggota JIB. Dalam usianya yang kedua puluh tahun ia juga sempat bergaul dengan tokoh-tokoh nasional seperti Hatta, Prawoto Mangunsasmito, Yusuf Wibisono, Tjokroaminoto, dan Moh.Roem. Tahun 1928-1932 ia menjabat sebagai ketua JIB. Setelah belajar di AMS, jiwanya terpanggil untuk mengajar di sekolah MULO di Bandung. Sadar akan keadaan sekolah umum yang tidak mengajarkan agama, M Natsir lalu mendirikan lembaga pendidikan Islam dan menjabat sebagai direktur selama sepuluh tahun yaitu sejak tahun 1932.
Selain tergabung dalam JIB, ia juga tergabung dalam Persis sebagai langkah awal kariernya sebagai pejuang, negarawan, dan agamawan. Persis juga yang mengantarkan M Natsir sebagi seorang tokoh dan pemimpin besar dunia. Persis didirikan oleh Haji Zam Zam pada tanggal 12 September 1923. Awal mula ide yang menjadi cikal bakal muculnya Persis adalah diskusi-diskusi yang tidak resmi yang dilakukan oleh Haji Zam Zam. Diskusi-diskusi ini membahas tentang masalah-masalah seperti khurafat, tahayul, bid’ah, dan taklid. Bentuk organisasi Persis menjadi jelas setelah bergabungnya Ahmad Hassan dan M Natsir. Bentuk organisasi Persis adalah sosial keagamaan dan pendidikan. Persis memperjuangkan berlakunya hukum-hukum Islam dan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat.[4] Untuk mewujudkan tujuannya tersebut, ditempuh dengan melakukan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khotbah-khotbah, kelompok-kelompok belajar, mendirikan sekolah-sekolah, menerbitkan pamflet-pamflet, majalah-majalah, dan kitab-kitab. Penerbitan inilah yang menyebabkan meluasnya pemikiran-pemikiran mereka. Persis juga didukung oleh dua tokoh yang cukup berpengaruh di dalamnya. Ahmad Hassan sebagai guru besar Persis dan M Natsir sebagai juru bicara untuk kalangan pelajar. [5] Ia banyak menuangkan pemikiran-pemikirannya dalam majalah yang diterbitkan Persis yaitu Pembela Islam.
Keberadaan M Natsir dalam partai Masyumi juga turut membawa perubahan dalam bidang agama, politik, ekonomi, dan sosial. Masyumi yang beranggotakan berbagai organisasi Islam didirikan pada tanggal 17 November 1945 melalui Kongres Nasional Umat Islam di Yogyakarta dengan Sukiman sebagai ketuanya. M Natsir memimpin Masyumi sebagai ketua umum sejak tahun 1949-1950. Sebagai pemimpin politik Islam, M Natsir telah memberikan seluruh tenaga dan pikirannya bagi kepentingan umat Islam dan bangsa Indonesia. Hal tersebut secara sederhana terbukti melalui apa yang disebut “Mosi Integral M Natsir”. Pada tanggal 3 April 1950, pada sidang parlemen RIS, M Natsir mengemukakan sebuah mosi yang memungkinkan terwujudnya bentuk NKRI seperti sekarang. M Natsir mengemukakan bahwa pembentukan Masyumi sebagai upaya penyaluran aspirasi politik umat Islam. Di sisi lain, munculnya Masyumi adalah sebagai tanggapan positif umat Islam terhadap manifesto politik Moh. Hatta yang mendorong pembentukan partai-partai. Tujuan dari partai Masyumi sendiri adalah terlaksananya ajaran dan hukum Islam dalam kehidupan individu, sosial, dan bernegara. Kedudukan M Natsir sebaga ketua umum tidaklah mudah. Beberapa anggota Masyumi sering mengeluarkan suara-suara yang mengarah ke arah provokasi yang memperburuk hubungan dengan partai non-Islam dan Presiden Soekarno. Namun, hal ini bisa di atasi oleh M Natsir. M Natsir juga memiliki tekad unuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Ide ini tergambar dalam bukunya Islam sebagai ideologo dan juga dalam artikel dengan judul Agama dan Negara.  Alasannya adalah karena Islam mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan bernegara dan dapat menjamin keragaman hidup antarberbagai golongan dengan penuh toleransi. Ide M Natsir ini menimbulkan perdebatan tentang ideologi negara apakah pancasila atau Islam, atau sosial-konomi sejak November 1956-Juni 1959. Perdebatan tentang dasar negara dalam Majelis Konstituante berakhir pada tanggal 2 Juni 1959 tanpa suatu keputusan dan memicu Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 sekaligus membubarkan Majelis Konstituante. Peristiwa ini berujung pada pembubaran partai Masyumi pada tanggal 17 Agustus 1960. Pembubaran Masyumi tidak terlepas dari keterlibatan pemimin dan anggotanya seperti M Natsir dalam pemberontakan yang berujung pada terbentuknya Pemerintahan Revolusioner  Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Barat. PRRI adalah pemerintahan tandingan terhadap pemerintahan pusat.
Pembubaran partai Masyumi tidak menyurutkan semangat M Natsir untuk memperjuangkan Islam. Ia dan beberapa tokoh Masyumi lainya mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) pada tanggal 26 Februari 1967. Lembaga ini lahir dari sebuah kesepakatan dari beberapa alim ulama di Jakarta pada acara halal bi halal. Lembaga ini juga merupakan perpanjangan tangan Masyumi. Mereka membahas tentang perkembangan dakwah Islam terutama pada masa transisi plitik setelah terjadi pergolakan G 30 S/PKI.  M Natsir menduduki ketua umum hingga akhir hayatnya.. Walaupun DDII bergerak dibidang dakwah, namun sesekali DDII melakukan control politis sehingga tidak heran jika DDII dicurigai sebagai Masyumi yang berbaju dakwah atau politik yang dipoles dakwah.  Sebagai yayasan Islam, DDII mempunyai pedoman dalam segala hal termasuk hubungan antaragama. Sebagai bentuk perjuangannya, DDII mendirikan masjid, mengirimkan dai, menerbitkan pamflet, bulletin,  dan tabloid. Kelanjutan perjuangan ini menunjukan bahwa M Natsir benar-benar ingin berbuat sesuatu yang terbaik untuk kepentingan bangsa dan umat Islam.
Keharuman nama M Natsir juga merebak hingga keluar negeri karena berbagai kegiatan dakwah Islam internasionalnya. Pada tahun 1956, bersama Syekh Maulana Abdul A’laa al-MAududi dan Abu Hassan an-Nadwi M Natsir memimpin sidang Muktamar Alam Islam di Damaskus. Ia juga menjabat sebagai presiden World Moslem Congres tahun 1967 sampai wafatnya. Ia juga menjadi anggota World Moslem League/Rabitah ‘Alam Islamy tahun 1969 dan anggota Majlis ‘Ala al-‘Alamy li al-Masajid ( Dewan Masjid Sedunia) dari tahun 1967 sampai akhir hayatnya. Ia juga dikenal karena dukungannya yang tegas terhadap kemerdekaan bangsa-bangsa Islam di Asia dan Afrika serta usahanya untuk menghimpun kerja sama antara negar-negara Islam yang baru merdeka. Sebagai sesepuh pemimpin politik, M Natsir sering dimintai nasihat dan pandanganya bukan saja oleh tokoh-tokoh PLO (Palestine Liberation organization), mujahidin Afganistan, Moro, Bosnia, dan lain-lain tetapi juga oleh tokoh-tokoh politik dunia nonmuslim seperti Jepang dan Thailand. Sebagai penghormatan terhadap pengabdian M Natsir kepada dunia Islam, ia menerima penghargaan internasional berupa bintang penghargaan dari Tunisia dan Yayasan Raja Faisal Arab Saudi (1980). Di dunia akademik, ia menerima gelar doctor honoris Causa dari Universitas Islam Lebanon (1967) dalam bidang sastra, dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Saint Teknologi Malaysia (1991) dalam bidang pemikiran Islam.[6]
Selain itu, ia juga mendapatkan penghargaan dari Indonesia. Presiden RI, melalui Keputusan Presiden Nomor 41/TK/Tahun 2008, menetapkan M. Natsir sebagai Pahlawan Nasional, bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008 serta bersamaan dengan peringatan 100 tahun M. Natsir.[7]



[1] Dr. Thohir Luth, M Natsir : Dakwah dan Pemikirannya, (Yogyakarta : Gema Insani), hlm.21-22
[2] www.ensiklopedia tokoh Indonesia.com
[3] Ibid, hlm.24
[4] Ibid, hlm 31-32
[5] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES), hlm 97
[6] Dr. Thohir Luth, M Natsir : Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta : Gema Insani), hlm 30-62
[7] www.ensiklopedi tokoh Indonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar