Cari Blog Ini

Minggu, 22 April 2012

cerpenQ


LANGKAH SANIA

Entah musim apa sebenarnya bulan April ini. Rotasi pergantian musim semakin tidak jelas dengan bertambah rusaknya bumi. Yang jelas minggu-minggu ini mendung selalu menggelayut di langit Yogyakarta hingga akhirnya petang datang hujan pun selalu turun. Namun, malam ini lain. Dari lantai dua asrama mahasiswa, bintang-bintang tampak begitu memesona. Paduan sinar bintang dengan cahaya rembulan cukup menggambarkan lukisan alam Yang Maha Sempurna. Di bagian barat langit tampak bersanding begitu indah bulan sabit dan sebuah bintang yang bersinar sangat terang, Tsuroya.
Sani tampak begitu menikmati malam ini. Seolah kebahagiaannya dirasakan pula oleh semesta. Esok hari ia akan melepaskan statusnya sebgai mahasiswa. Rajutan mimpi-mimpi masa depan berlomba merajut dalam benak Sani. Apa yang akan ia lakukan setelah ia wisuda merupakan pikiran terbesar yang selalu menggelayut di pikirannya.
“Mbak Sani dicari Ibu tu di bawah...” teguran Aini, adik kelasnya, membuyarkan rajutan mimpi masa depan yang sedang ia rangkai. Sani segera menuruni anak tangga menuju ruang tamu, tempat di mana keluarganya beserta keluarga calon wisudawati yang lain berkumpul.
                                                                                                                ***
Sania, mahasiswa sebuah universitas pinggiran di Yogyakarta, telah menamatkan program studi S1 nya dengan tepat waktu. Bersama dengan ratusan mahasiswa lain ia akan di wisuda dan dikembalikan kepada orang tuanya. Masa-masa yang menyenangkan, kehidupannya di kampus yang penuh dengan warna dan idealisme kehidupan akan segera tergantikan oleh realitas sosial, kehidupan yang lebih nyata. Bahagia jelas ia rasakan apalagi dengan predikat terbaik dan cumlaude yang diperolehnya. Namun, tugas yang lebih menantang telah menggelayut di depan mata. Saatnya menunjukkan pengabdian atas apa yang telah ia peroleh.
Sania telah berkumpul dengan keluarganya. Semuanya, ayah, ibu, adik-adik Sania, sepupu, dan  tantenya datang jauh-jauh dari ujung Pulau Sumatra untuk menyaksikan prosesi wisuda. Sungguh sania merasa terharu dengan semua ini.
“Sani deg-degan menyambut hari besok. Rasanya belum siap menyandang gelar sarjana ..”
“Besok kamu bukan lagi mahasiswa yang penuh dengan idealisme kehidupan, idealismemu bisa saja runtuh setelah kamu menghadapi relitas kehidupan yang berbeda..bersiap-siaplah menyongsong pola hidup yang baru..” semua tampak khidmat mendengarkan perkataan ayah Sani meskipun yang dituju hanyalah Sani.
“Iya Ayah, Sani akan mencoba melihat realitas yang ada..”
“Ayo kita jalan-jalan ke lapangan di belakang asrama...ntar kita bisa melihat banyak bintang di sana lho...biasanya kalau malam liburan seperti malam Minggu atau Sabtu ada temen-temen Sani yang main gamelan di sana..” Sani menggandeng tangan kedua adiknya dan yang lain pun mengekor ikut keluar menuju lapangan. Lapangan asrama berjarak kira-kira dua puluh meter dari asrama. Selian sebagai tempat olah raga di siang hari, juga sebagai tempat diskusi, kumpul anak-anak komunitas, atau banyak juga yang sekadar nongkrong menghirup udara segar.
Wow, ternyata tidak hanya Sani dan keluarganya yang ingin mneikmati malam di lapangan. Suasana lapangan malam ini lebih ramai dari biasanya. Keluarga teman-teman Sani pun sudah banyak yang lebih dulu berada di lapangan.
“Kak. Malam-malam begini kok lapangannya ramai kayak ada pasar malam aja...” komentar Avril, adik terbesar Sani.
“Mana pasar malamnya kak..kok nggak ada undar-undarnya..?” timpal Nurin, si bungsu.
“Kalian itu yang ada dipikiran cuma pasar malam teruss....” giliran ibu Sani yang menjawab mengingat kedua anaknya tidak pernah ketinggalan kalau ada pasar malam.
“Ayo kita ke pojok sana yang sepi...” Sania memipin pasukan. Sani memilih tempat pojok di dekat penjual jagung bakar.
“Malam Pak...” Sapa Sani pada penjual jagung bakar yang telah dikenalnya.
“Malam Mbak Sani...wah kumpul keluarga iki ya....mau jagung manis, gurih, apa sing pedes..?”
Semua membentuk lingkaran sambil menunggu jagung bakarnya matang. Cakap-cakap hangat pun mengalir. Tampak begitu indah seindah pasangan bulan sabit dan tsuroya yang tetap bertahan di atas sana. Kerinduan Sani yang begitu besar pada keluarganya meleleh saat itu juga.
“Persandingan bulan sabit dan tsuroya tampak begitu anggun dan sempurna. Meski bukan purnama, sinar bulan tampak mengayomi tsuroya sehingga kelihatan lebih terang. Sinar terang tsuroya juga tidak lantas membutanya angkuh malah mengukuhkan bahwa bulan sabit tidak kalah cantiknya dengan purnama. Semoga kita juga seperti itu..” massage sent.
Malam semakin merangkak. Hawa dingin mulai merasuk ketulang. Setelah menghabiskan jagung bakar satu-satu, kecuali Nurin tentunya yang minta tambah, Sania dan keluarga segera meninggalkan lapangan yang sudah mulai sepi.
“Mbak Sania selamat ya besok sudah jadi sarjana...” ucap penjual jagung dengan ciri khas medhoknya ketika Sania membayar. “oh..iya nuwun ya pak...” balas sania yang berusaha belajar bahasa Jawa dengan baik dan benar.
“Besok jam berapa kita berangkatnya Sani..?” tanya ayah Sani memecah kesunyian dalam perjalanan pulang. “Sekitar jam 7-an Yah, nanti sebelum itu kita sowan dulu sama Ibu Nyai..”
“Mas Rangga dateng nggak?” lanjut Doni, sepupu Sani. “ Jelas donk...”
                                                                                ***
Pagi-pagi buta sebelum adzan subuh berkumandang asrama telah ramai. Tidak seperti biasanya yang hanya beberapa mahasiswa saja yang bangun untuk qiyamullail. Jam baru menunjukkan pukul 04.00 tapi sudah banyak mahasiswa yang bangun dan mandi terutama mereka yang akan wisuda. Sani bangun satu jam sebelumnya. Dengan khusyuk ia memanjatkan doa, menyapa Tuhannya di malam sepi. Ia bergegas melepas mukena dan pergi mandi. Setelah itu ia membangunkan keluarganya.
Adzan subuh berkumandang mendayu-dayu memecah dinginnya malam. Mushola asrama telah dipenuhi jamaah mahasiswa dan keluarga. Sani merasa suasana yang lain. Setelah hampir tiga tahun tidak berjamaah bersama keluarga kali ini ia merasakannya. Ia bisa mencium tangan ibunya lagi seperti kebiasaannya dulu sebelum ia di Jogja.
Perlahan tapi pasti matahari mulai memunculkan sinarnya. Sani dan lima teman seasramanya yang akan wisuda segera antre untuk dirias umumnya orang yang wisuda. Sementara itu keluarganya pun berkemas-kemas. Setelah satu jam akhirnya prosesi merias diri pun selesai.
“Kepada para wisudawati dan keluarganya yang akan sowan ke Ibu Nyai diharap segera kumpul di aula” pengumuman dari speaker menggerakkan langkah Sani beserta yang lainnya mengajak keluarganya untuk segera menuju ke aula. Ia akan mendengarkan wejangan-wejangan dari Ibu Nyai, ibu pengasuh asrama  tempat ia tinggal.
“Alhamdulillah kalian semua sudah lulus masa kuliah. Tapi itu bukan berarti selesai masa belajar karena sejatinya belajar tak akan pernah usai dan belajar dalam masyarakat itu lebih berat dari pada belajar di dalam kelas. Salurkan ilmu kalian sehingga apa yang kalian dapatkan di kelas tidak sia-sia..khoirunnas anfa’u linnas..” begitu pesan Bu Nyai. Mungkin sudah biasa didengar tapi maknanya sungguh luar biasa.
Selama perjalanan menuju kampus sani terus terngiang-ngiang dengan pesan Bu Nyai sambil memikirkan apa yang hendak ia lakukan setelah lulus nanti.
                                                                                ***
Prosesi wisuda diawali dengan kirab para wisudawan-wisudawati mengelilingi area kampus. Dilanjutkan upacara ceremonial di gedung Serbaguna kampusnya. Ceremonial yang umum dilakuakn di mana-mana: sambutan dari para petinggi universitas. Yang paling panjang melakukan sambutan adalah Bapak Rektor. Hufht....prosesi ceremonial yang panjang, panas dan melelahkan. Beberapa kali Sania mengelapkan tisu ke wajahnya meskipun di dalam ruangan ber-AC. Wajah lelahnya tampak berseri-seri ketika dibacakan mahasiswa berprestasi. Sania menduduki peringkat terbaik dan tercepat seuniversitas.
Gedung Serbaguna semakin panas dan ramai setelah proses ceremonial berakhir. Para mahasiswa meluapkan kegembiraan bersama teman-temannya. Sania segera menyingkir dari kerumunan teman-temannya. “Sani foto bareng dulu sini donk ngeloyor aja kamu...” langkahnya terhenti. Ia menuju gerombolan anak-anak narsis. Jepret sana-jepret sini dengan berbagai gaya.
“Udah dulu ya capek ni narsis melulu...aku mau cari angin segar panas banget di sini..” pamit Sani pada teman-temannya. Ia segera menuju keluar gedung menemui keluarganya. Sayup-sayup ia mendengar lagu Bruno Mars “Just the Way You Are” lagu kesukaannya.
“Mbak Sani.....” dua adik kecilnya menyambut dengan teriakan histeris.
“Selamat ya Nak...” bergantian ayah, ibu, tante, dan sepupunya mengucapkan selamat.
“Terimakasih...” balas Sani singkat. “Ihh...Mbak Sani nangis, cengeng...” ledek Avril yang memergoki sani mengusap air mata harunya. Kali ini Sani tidak mau melayani ledekan Avril. Ia mencari seseorang.
“Sani...”  ia menengok ke arah suara yang memanggilnya. Rangga.
“Selamat ya udah jadi sarjana...” dengan seikat mawar putih ia Rangga memberikan sapaan sayangnya kepada Sani. “Sory aku telat ...oh ya kamu dapat tamu khusus lho...”
“Siapa..?” tanya Sani penasaran. Rangga membuka pintu mobil. Tampak pak tua yang keluar dari mobil.
“Kakek....”seru sani sambil menyambut  kakeknya.
“Ayo kita duduk dulu biar lebih santai..”ajak Ayah Sani. Mereka segera menuju ke bawah pohon, tempat yang sudah di bokking untuk keluarga Sani.
“Ayah, Ibu...kenalkan ini Kakek. Beliau udah Sani anggap kayak kakek Sani sendiri..”
“Oh iya kek Sani sering cerita tentang Kakek  kalau dia telpon. Makasih sudah menganggap sani sebagai cucu dan memberi pelajaran hidup bagi sani..”ucap Ibu Sani.
Kumpulan keluarga itu makinmeriah dengan lantunan lagu-lagu Bruno Mars yang diputar Rangga.
“Mas Rangga kapan nglamar Mbak Sani? Dia kan udah wisuda dan Mas Rangga udah mapan..”celethuk Doni.
“Husss kamu itu, baru aja wisuda...kerja dulu bantu orang tua dulu..”tante Rina menimpali omongan anaknya. Yang ditanya malah cuma senyam-senyum tidak jelas apa artinya.
“Sani apa rencana berikutnya..? tetap mau tinggal di Jogja?” tanya Kakek.
“Sani sih pinginnya tetep di Jogja. Cari pekerjaan di jogja. Selain itu Jogja kan akses informasi dan sebagainya serba mudah. Sani bisa tetep nulis dan paling nanti juga ngajar...”
“Nggak mau kerja di rumah Nak,,,?” tanya Ayah.
“apa nggak mau jauh sama ayang Rangga?” lagi-lagi Doni meledeknya. Sani dan Rangga jadi salah tingkah.
“Orang yang baru luus wisuda itu diibaratkan ia sudah mempunyai bekal cahaya untuk masa depan. Tentu saja cahaya itu akan berguna jika dibagi dan digunakan untuk menyinari. Sani jika kamu sanggup menyinari seperti matahari tidak apa kamu tetap di Jogja karena tidak ada sinar yang lebih terang dari matahari. Tapi kalau kamu merasa sinarmu baru sepeti lilin janganlah kamu berada ditempat terang karena sinarmu tidak akan terlihat dan tidak bermanfaat. Sebuah lilin akan sangat bermanfaat jika di tempat gelap. Di luar sana masih banyak yang membutuhkan cahaya lilinmu.   Terangilah tempat yang gelap agar menjadi terang, jangan kau terangi tempat yang sudah terang. Masalah cinta jauh dekat sama saja jika jodoh pastilah bertemu. “ nasihat Kakek dengan penuh wibawa.
                                                                                                ***
Kebahagiaan wisuda telah berlalu. Keluarga Sani telah kembali ke Aceh. Sementara Sani masih berat meninggalkan Jogja dengan kebingungannya. Keputusan harus tetap diambil. Meskipun berat meninggalkan Jogja dengan segala kenangan indahnya bersama teman-temannya dan terlebih lagi bersama Rangga, Sani akhirnya pulang ke kampung halaman. Menjadi setitik cahaya di kampung halamannya yang belum juga terang. Sebuah lilin mampu menerangi tempat yang gelap tapitidak akan mampu lagi menambah terangnya dunia yang telah terang. Kekuatan cinta turut menguatkannya melangkah keluar Jogja.


















DATA PRIBADI
Elziya adalah nama pena dari Laeli Azizah. Anak kelahiran Kebumen, 9 Mei 1991 kini tengah menempuh pendidikan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam. Penulis tinggal di PP Nurul Ummah Putri, jln. R Ronggo kG II/981 Kotagede, Yogyakarta. Bisa dihubungi di nomor 085729349982.


Jumat, 20 April 2012

Kebijakan Politik Orde lama


BAB I
PENDAHULUAN

Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 membawa periode dan babak sejarah baru bagi bangsa Indonesia. Setelah memproklamasikan diri sebagai negara yang merdeka, Indonesia berusaha membenahi stabilitas negara untuk membentuk suatu negara yang berdaulat. Dalam masa awal kemerdekaan dibentuklah BPUPKI sebagai badan yang menyiapkan kemerdekaan. Sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat dibutuhkan suatu dasar negara untuk bisa menjalankan kehidupan pemerintahan bernegara. Pembentukan dasar negara ini memerlukan suatu penggodokan yang matang mengingat Indonesia yang baru merdeka memiliki keanekaragaman budaya dan keyakinan.
Dalam pembentukan dasar negara ini melibatkan berbagai elemen masyarakat termasuk umat Islam. Pembahasan dasar negara yang terangkum melalui Piagam Jakarta banyak melibatkan peran umat Islam dalam penyusunannya. Namun, akhir dari terbentuknya dasar negara menimbulkan kekecewaan dipihak umat Islam. Kekecewaan umat Islam tidak berhenti di situ saja. Pada masa selanjutnya umat Islam juga tidak memiliki kebebasan dalam berpolitik. Soekarno sebagai penguasa RI hanya mengizinkan Masyumi sebagai satu-satunya wadah perpolitikan umat Islam. Masyumi yang beranggotakan berbagai organisasi Islam pun akhirnya tidak bisa memberikan kepuasan dan kebebasan  terhadap para anggotanya.
Banyak kalangan Islam yang menilai bahwa kebijakan Presiden Soekarno tidak banyak berpihak terhadap umat Islam. Mengingat banyaknya peran umat Islam sejak masa perjuangan sampai masa kemerdekaan hal ini menyebabkan kekecewaan di pihak umat Islam. Kebijakan lain apakah yang diterapkan Presiden Soekarno dalam masa pemerintahan Orde lamanya? Bagaimana reaksi umat Islam terhadap kebijakan pemerintah? Hal inilah yang akan dibahas dalam makalah ini.







BAB II
PEMBAHASAN
1.      Kebijakan Pemerintah Orde Lama
Pendeknya usia Piagam Jakarta dalam sejarah konstitusionalisme Indonesia tidak mengendorkan semangat politik umat Islam dalam perpolitikan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka. Gerak politik umat Islam diwadahi melalui Parati Masyumi buatan Indonesia. Partai Masyumi sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam memiliki keanggotaan dari berbagai organisasi Islam maupun perorangan. Nu dan Muhammadiyah merupakan anggota yang mendominasi Masyumi. Namun, keutuhan keanggotaan Partai Masyumi tidak bisa bertahan lama. Keluarnya PSII dari Masyumi merupakan awal dari perpecahan dalam tubuh Masyumi. Pada tahun 1952 menyusul NU sebagai penyokong besar Masyumi keluar dari partai tersebut. NU mengubah dirinya dari jami’ah (gerakan sosio-keagamaan) menjadi partai politik yang berdiri sendiri. Keluarnya NU dari tubuh Masyumi merupakan goncangan hebat bagi Masyumi mengingat pengikut NU yang cukup banyak di tiga daerah yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan.[1] Dengan tampilnya NU sebagai partai politik, maka umat Islam terbagi menjadi dalam empat partai yaitu Masyumi, PSII, NU, dan Perti.[2]
Pada awal Demokrasi Parlementer, Masyumi masih memegang peranan aktif dalam politik. Pada masa kabinet Natsir dan Kabinet Soekiman, posisi menteri Agama berada ditangan K.H. Wahid Hasyim (tokoh NU dalam Masyumi). Namun, pada masa Kabinet Wilopo-Prawoto yang dimulai sejak April 1952, posisi Menteri agama dipegang oleh K.H. Fakih Usman (unsur Muhammadiyah dalam Masyumi). Dalam masa kabinet ini NU memang tidak terwakili, sementara Masyumi menduduki empat kursi dan PSII satu kursi. Pertengahan tahun 1953 Kabinet Wilopo digantikan dengan Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Dalam kabinet ini NU telah berdiri sendiri sebagai partai politik dan mula-mula hanya menduduki tiga kursi namun setelah terjadi perubahan, NU mendapat empat kursi yang meliputi kursi wakil perdana menteri I, menteri dalam negeri, menteri agama, dan menteri agraria. Kabinet Ali I jatuh pada bulan Juli 1945 dan digantikan oleh kabinet Burhanudin Harahap (Masyumi). Kabinet ini merupakan kabinet terakhir sampai partai tersebut bubar pada tahun 1960. Salah satu prestasi dari kabinet ini adalah berhasil menyelenggarakan Pemilu pertama pada tahun 1955.[3]
Sebelum dikeluarkannya Dekrit 5 Juli, pada tanggal 22 April 1959, Soekarno sebagai Presiden pertama RI menyampaikan definisi Demokrasi Terpimpin. Salah satu definisi mengatakan bahwa Demokrasi Terpimpin ialah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Namun, dalam kesempatan lain Soekarno menyampaikan bahwa Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan, tanpa anarkinya liberalisme dan tanpa otokrasi yang diktator. Yang dimaksud dengan demokrasi kekeluargaan adalah demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahannya kepada musyawarah dan mufakat dalam satu kekuasaan sentral ditangan ‘sesepuh’ yang tidak diktator dan mengayomi masyarakat.
Periode Demokrasi Parlementer berakhir setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit 5 Juli mengukuhkan kembali UUD 1945 dan pembubaran Majelis Konstituante serta sebagai tanda dimulainya fase baru yang disebut Demokrasi Terpimpin.[4] Soekarno memilih Demokrasi Terpimpin sebagai bentuk demokrasi Indonesia karena menurutnya Demokrasi Parlementer tidak bisa mewujudkan cita-cita demokrasi bangsa Indonesia. Kekecewaan Soekarno pada keadaan yang sebenarnya juga berpangkal dari tidak terwujudnya kabinet gotong royong yang diinginkannya di mana PKI turut serta di dalamnya. Soekarno membentuk Dewan Nasional pada tanggal 11 Juli 1959 yang diketuai oleh Soekarno sendiri. Lalu pada tanggal 22 Juli 1959 Dewan Nasional diganti dengan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang juga diketuai oleh Soekarno. Penanganan sehari-hari DPAS diserahkan oleh wakilnya, Roeslan Abdoelgani, tokoh PNI. DPAS ini pulalah yang mengusulkan agar pidato kenegaraan presiden tanggal 17 Agustus 1959 dijadikan sebagai Manifesto Politik
. Dalam pidatonya taggal 17 Agustus 1959 Soekarno menyampaikan dasar-dasar Demokrasi Terpimpin. Dasar-dasar tersebut yaitu:
1)      tiap-tiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, bangsa, dan negara.
2)      tiap-tipa orang berhak mendapat penghidupan layak dalam masyarakat, bangsa, dan negara.
Demokrasi Terpimipin pemusatan kekuasaan ditangan seorang pemimpin dalam hal ini Soekarno, membawa konsekuensi politik bagi umat Islam. Sayap pesantren, yaitu NU bersama PSII dan Perti diizinkan hidup di bawah payung Demokrasi terpimpin. Mereka berusaha menyesuiakan diri dengan kondisi politik yang baru dan berusaha bertindak selalu menyenangkan Soekarno. Di sisi lain, kaum modernis bagi Soekarno merupakan penghalang revolusi. Kaum modernis terutama Masyumi dianggap sebagai musuh revolusi. Adanya perbedaan antara musuh dan kawan revolusi menyebabkan kristalisasi dalam tubuh umat Islam. Pada tanggal 20 Maret 1960 Soekarno membubarkan parlemen dan menggantinya dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). Anggota DPRGR yang dipilih merupakan mereka yang mengiakan Soekarno. Tokoh-tokoh Masyumi dan PSI tidak dimasukan dalam anggota DPRGR dengan alasan bahwa kedua partai tersebut terlibat dalam pemberontakan. Jika diteliti lebih cermat, keanggotaan DPRGR terdiri dari 94 pihak Nasionalis-Sekuler, kelompok Komunis mendapat 81 kursi, dan wakil Islam hanya mendapat 67 kursi. Di sini umat Islam kehilangan kursi sebanyak 48 jika dibandingkan dengan parlemen sebelumnya. Namun, yang lebih menderita kerugian adalah modernis yang telah dicap sebagai musuh revolusi.[5] Soekarno juga menyampaikan ideologi Demokrasi Terpimpin yang beberapa bulan kemudian disebut Manifesto Politik (Manipol). Ia menyerukan semangat revolusi, keadilan sosial, dan revitalisasi lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi negara demi revolusi yang berkesinambungan. Pada awal tahun 1960 ideologi yang samar-samar ini menjadi semakin rumit dengan ditambahkannya kata USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Soekarno mengharuskan pers mendukung Manipol-USDEK yang dicetuskannya. Namun, beberapa redaktur yang pro-Masyumi dan pro-PSI menolak sikap mendukung terhadap Manipol-USDEK. Sebagai akibatnya, terjadi pembredelan surat kabar.[6]
Kebijakan-kebijakan politik Soekarno kini lebih menekankan pada adanya persatuan antara Nasionalisme, Islam, dan Marxisme. Dengan berkurangnya peran umat Islam dalam panggung politik Demokrasi Terpimpin menunjukan bahwa Soekarno menginginkan suatu koalisi politik antara kaum Nasionalis, Agama, dan Komunis. Tema yang diangkat oleh Soekano adalah Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Perwujudan dari politik Nasakom ini adalah tampilnya PNI sebagai wakil Nasionalis, NU sebagai wakil Agama, dan PKI sebagai wakil Komunis dalam koalisi kabinet baru bentukan Soekarno.[7]
2.      Reaksi Umat Islam terhadap Pemerintah Orde Baru
Bentuk Demokrasi Terpimpin yang dipilih oleh Soekarno setidaknya telah  mempersempit gerak umat Islam dalam panggung politik Indonesia. Ketidakpuasan Soekarno yang hanya sebagai presiden simbol sebagaimana ditetapkan dalam UUDS 1950 sebagai landasan konstitusional pelaksanaan Demokrasi Parlementer, menyebabkan Soekarno menetapkan Demokrasi Terpimpin. Keinginan Soekarno untuk berkuasa secara langsung disampaikan pertama kali pada tanggal 28 Oktober 1956 pada waktu ia mengemukakan konsepsi Bung Karno. Perpindahan politik ini dianggap oleh sebagian orang telah menyimpang dari UUDS 1950. Di antara reaksi terhadap move politik Soekarno dilontarkan oleh Isa Anshory, anggota DPR. Menurutnya, konsepsi Bung karno memungkinkan terbentuknya demokrasi yang tanpa oposisi.[8]
Umat Islam sendiri memiliki pandangan yang berbeda terhadap demokrasi terpimpin. Pada garis besarnya, umat Islam terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan yang kontra dan golongan yang ikut tergabung dalam Demokrasi Terpimpin. Masyumi sebagai golongan yang menentang model politik Soekarno memandang bahwa Demokrasi Terpimpin merupakan sistem demokrasi yang otoriter, yang menyimpang dari ajaran Islam. Oleh sebab itu, Masyumi tidak mau terlibat dalam politik Soekarno. Kelompok kedua yaitu kelompok Liga Muslim (NU, PSII, dan Perti) yang turut serta dalam Demokrasi Terpimpin. Keterlibatan mereka dalam politik Demokrasi Terpimpin merupakan sebuah sikap yang realistik dan pragmatik. Saifudin Zuhri (NU), misalnya, membawakan dalil “Apa yang tidak bisa diraih secara utuh maka sebagian yang lain jangan dilepaskan” untuk membenarkan keterlibatan NU dalam Demokrasi Terpimpin.[9] Berdasarkan dalil yang diajarkan di pesantren inilah NU turut masuk dalam Demokrasi Terpimpin.
Berbeda dengan Masyumi yang memandang Demokrasi Terpimpin akan membawa bencana bagi bangsa dan negara. Sikap penolakan Masyumi dan PSI terhadap Demokrasi Terpimpin menyebabkan kedua partai politik Islam tersebut melancarkan perlawanan terhadap pemerintah. Pada bulan Maret 1960, Masyumi dan PSI menolak anggaran belanja pemerintah yang diajukan pada rapat DPR yang terpilih tahun 1955 (lembaga terakhir di mana mereka terwakili). Maka atas dorongan Hatta dan beberapa tokoh militer, PSI, Masyumi dan beberapa sekutunya membentuk Liga Demokrasi sebagai tandingan Demokrasi Terpimpin.[10] Liga Demokrasi dibentuk pada tanggal 24 Maret 1960 yang beranggotakan tokoh-tokoh Masyumi, PSI, Partai Katolik, Parkindo, IPKI, dan juga dua tokoh NU. Di depan memang telah disebutkan secara umum NU mendukung dan ikut terlibat dalam Demokrasi terpimpin. Namun, K.H. M. Dahlan dan Imron Rosjadi menentang Demokrasi Terpimpin. Mereka memang tidak bisa membawa penentangan tersebut ke dalam garis politik.
Liga Demokrasi mula-mula dibentuk sebagai bentuk protes terhadap pembubaran DPR pilihan rakyat. Namun, tujuan jangka panjangnya memang untuk melawan sistem otoriter Soekarno. Pada saat Liga didirikan, Soekarno sedang berada di luar negeri. Setelah ia kembali, ia menunjukan sikap yang sangat anti terhadap Liga Demokrasi. Selang beberapa bulan kemudian, Liga ini dibubarkan oleh Soekarno tanpa ada yang bisa mempertahankan. Setelah bubarnya Liga Demokrasi, udara otoriter semakin mewarnai pemerintahan Soekarno. Dukungan partai-partai menyebabkan Soekarno berpikir bahwa sistem yang diciptakannya berjalan mulus. Dengan kata lain, demokrasi yang diperjuangkan mati-matian oleh Masyumi dan PSI merupakan hanya sebuah gejala urban mengingat kedua partai ini bercorak kota terutama PSI. Masyumi sekalipun memiliki pengikut di daerah pedesaan, partai ini adalah partai kota karena partai ini mewakili kaum modernis muslim. Berbeda dengan NU yang mewakili Islam santri pedesaan. [11]
Kekecewaan Masyumi terhadap pemerintahan Soekarno juga terletak pada putusan Soekarno membentuk DPRGR. Masyumi yang telah dianggap sebagai musuh revolusi tidak mendapat kesempatan dalam DPRGR. Sebuah artikel dalam majalah Hikmah (milik Masyumi) mencerminkan sikap kekecewaan mereka juga kepada pihak NU yang telah bergabung dengan Demokrasi Terpimpin. [12]














BAB III
PENUTUP
Sebagai negara yang telah merdeka, Indonesia menginginkan sebuah bentuk negara demokrasi yang bisa membawa stabilitas politik dan kondisi negara. Soekarno sebagai orang yang terpilih sebagai pemimpin negeri ini telah menjalankan roda pemerintahan dengan berbagai macam ide politiknya. Soekarno yang mengusung tema politik Nasakom dan dengan model politik Demokrasi Terpimpin setidaknya telah membatasi gerak politik umat Islam. Masyumi yang pada awalnya sebagai satu-satunya partai politik yang legal bagi umat Islam menjadi kehilangan peran dalam politik Demokrasi Terpimpin. Partai Islam yang turut bergabung dalam Demokrasi Terpimpin pun tidak bisa total menyuarakan pendapat. Mereka harus mendukung ketetapan Soekarno agar tetap bisa bertahan dalam panggung politik. Soekarno menginginkan sebuah koalisi antara partai Nasionalis, Agama, dan Komunis.
Dalam menyikapi politik Soekarno, umat Islam terbagai menjadi dua kelompok. Kelompok yang pertama adalah mereka yang mendukung atau setidaknya terlibat dalam politik Demokrasi Terpimpin (NU, PSII, dan Perti). Mereka tergabung dalam Liga Muslim. Kelompok kedua adalah golongan partai politik yang berusaha melawan Demokrasi Terpimpin dan ingin mewujudkan demokrasi yang lebih demokratis (Masyumi dan PSI). Golongan partai yang menentang demokrasi terpimpin tergabung dalam Liga Demokrasi. Meskipun pada akhirnya apa yang dicita-citakan oleh Liga Demokrasi tidak tercapai, namun setidaknya mereka telah memperjuangkan demokrasi yang tidak otoriter.










DAFTAR PUSTAKA


Maarif, Ahmad Syafii.1988. Islam dan Politik Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Yogaykarta: PT Pustaka Parama Abiwara
Maarif,  Ahmad Syafi’i. 1985. Islam dan Masyarakat Kenegaraan. Jakarta:LP3ES
Ricklefs, M.C. 1994.  Sejarah Indonesia Modern. Terj.Dharmono Hardjowidjono . Yogyakarta:Gajah Mada University Press



[1]Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masyarakat Kenegaraan, (Jakarta:LP3ES, 1985 ) hlm. 115  
[2] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1960), (Yogyakarta:PT Pustaka Parama Abiwara, 1988) hlm.38
[3] Ibid, hlm.38-40
[4] Maarif, Islam dan Masyarakat Kenegaraan,... hlm. 178
[5]  Ibid, hlm.183-186
[6] M.C.Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terj.Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta:Gajah Mada University Press, 1994)hlm.403-404
[7] Ibid, hlm.406
[8] Maarif, Islam dan Politik Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), ...hlm. 52    
[9] Ibid, hlm.57
[10] Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern.  Terj.Dharmono Hardjowidjono... hlm 405
[11] Maarif, Islam dan Politik Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)...hlm.64-65
[12] Maarif, Islam dan Masyarakat Kenegaraan, hlm187